Gimana rasanya jadi anak SMAN 3 Bandung? Menyenangkan, hehehe.

Serius. Melebihi rasa senang karena impian sejak jaman SD terwujud, di antara sekian banyak hal-hal yang unpredictably great dalam hidup saya, menjalani masa-masa sebagai siswa SMAN 3 Bandung adalah salah satu yang terbaik. Salah satu yang paling mengubah hidup. Yang paling membentuk karakter dan perspektif, dan oleh karena itu, paling saya syukuri. :)

Masa-masa awal…

Saya masuk SMAN 3 Bandung sebagai NEM tertinggi perempuan di SMP saya dan itu memperkuat kepercayaan diri untuk memasukkan aplikasi tanpa banyak keraguan lagi—ini toh yang saya inginkan sejak SD, ini juga alasan saya mau pindah kembali ke Bandung dan ‘bela-belain’ pakai kerudung hehehe—tapi faktor itu nggak lantas membuat saya langsung aktual di sekolah ini. Begitu diterima, saya langsung tahu bahwa peringkat NEM saya ada di nomor 60 dari sekitar 400 siswa. Pada akhirnya, dari 40an siswa di kelas 3C (kelas unggulan di SMPN 3 Bandung), hanya 20 yang masuk SMAN 3 Bandung. Jangan tanya kelas lain. Sementara siswa baru yang berasal dari SMP di Jalan Sumatera? Jangan tanya juga gimana bejibunnya. Hahaha. Belum lagi yang berasal dari SMP negeri bagus daerah Buah Batu, Taman Pramuka, Ambon, sekolah swasta Kristen/Katolik, anak-anak luar kota yang jenius dan bahkan luar negeri. Wuiih. Semua orang tampak pintar bersinar, cerdas cemerlang, percaya diri dan aktual. Jiper? Nggak, saya makin excited. Hehehe.

Sejak awal saya udah memikirkan apa alasan yang mendorong saya mendaftarkan diri ke sekolah ini. Bukan semata-mata karena ini sekolah favorit dan bakal jadi prestise kalau bisa tembus, hmmm, sejujurnya itu nggak begitu kepikiran. Saya begitu ingin masuk sekolah ini karena saya mencari lingkungan kondusif yang kompetitif tapi tetap fair dan seru. Saya percaya lingkungan itu bakal berpengaruh banget untuk perkembangan diri seseorang. Dan saya pengen banget diri saya bisa terbawa baik, terdorong untuk jadi baik dan berkembang selama sekolah disini. Saya nggak terlalu peduli apakah saya bakal dapet peringkat atas atau nggak. Yang penting belajar dan berkembang.

Nah, ini, seperti yang saya ceritakan di posting sebelumnya, agak berbeda dengan apa yang sahabat saya ketika SMP pikirkan. Buat dia, yang penting tetap bisa unggul di lingkungan ‘rata-rata’, daripada jadi orang rata-rata di lingkungan unggul. Saya ngga setuju nih. Unggul itu kan relatif, dan saya mau standar saya tinggi supaya saya terus terpacu untuk jadi lebih baik dan nggak cepat puas. Kita kan nggak akan selamanya ada di SMA, masa SMA itu in fact Cuma sebentar dan pada akhirnya kita bakal lulus juga, masuk ke dunia kuliah dan lalu ke dunia nyata. Jadi hati saya nggak sepakat kalau menjadikan pencapaian masa SMA sebagai standar mutlak (apalagi itu relatif juga), yang penting adalah kualitas proses belajarnya (karena dari kultur akademis dan kesiswaan itu justru kita banyak belajar) dan output ketika keluar (mulai dari masuk kuliah dimana, gimana learning attitude ketika kuliah, dst). Ada sedikit contoh.

Di SMA 3, sejak awal saya dapat kesan seolah-olah semua anak diarahkan untuk memilih ITB atau Kedokteran. Kalau nggak memilih itu, pasti akan dipertanyakan dengan muka bersimpati, “Kenapa?”. Di satu sisi, ini mengandung sisi kurang bagus juga karena seolah iklim sekolah menggiring anak-anak untuk terhomogenisasi: lulusan yang sukses itu ya kalau nggak masuk ITB, ya kedokteran, sementara itu jelas nggak tepat. Bukan ITB atau kedokterannya yang penting, tapi apakah kita bisa masuk kuliah di tempat yang bener-bener sesuai dengan minat dan talenta kita dan bisa menempa diri kita sebaik-baiknya di tempat kuliah itu untuk berkarya di masa depan. Itu satu sisi. Tapi di sisi lain, ‘tradisi’ ini juga sangat empowering.

Menyadari standar minimum di SMA 3 adalah ITB atau kedokteran akan membuat kita terpacu. Ok, itu bisa jadi target! Mengetahui bahwa tiap tahun 80% lebih lulusan SMA 3 pasti tembus PTN favorit membuat kita bertekad, Saya juga mau jadi bagian dari statistik itu!!! Kira-kira demikian.

Seperti yang saya tulis juga di posting sebelumnya, sejak tercerahkan oleh artikel majalah Gadis ketika kelas 2 SMP, saya bener-bener memikirkan terus gimana caranya bisa mengaktualisasi diri. Sebagai anak pindahan, saya nggak punya banyak kesempatan untuk ikut aktif di organisasi kesiswaan, jadi saya hanya mengisi waktu saya dengan belajar, latihan karate, dan main ke rumah teman. Ada episode mengikuti beberapa lomba dan menang ketika kelas 3 SMP memang, tapi itu Cuma beberapa saat. Saya belum ngerasa puas karena saya belum merasa sudah benar-benar bisa berkontribusi untuk komunitas. Saya percaya, aktualisasi diri itu adalah berkontribusi.

Nah, SMA 3 itu juga sekolah yang mentereng dari segi dinamika ekstrakurikulernya. Ini saya kagumi sampai sekarang karena menurut saya, dinamikanya bahkan melebihi dinamika kemahasiswaan di kampus saya sekarang (sedih sebenernya). Semua orang Nampak total dengan kehidupan ekstrakurikulernya masing-masing, menghargai talentanya dan having fun. Saya akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Musyawarah Perwakilan Kelas (MPK) karena ingin mendalami seluk-beluk keorganisasian formal; DKM Al Furqan untuk belajar Islam (pastinya) karena saya ngerasa tertantang juga, udah hampir dua tahun pakai kerudung masa ngga ada peningkatan kualitas keislaman; dan belakangan kemudian bergabung dengan Belitung Muda (ekskul sepakbola)sebagai manajer dan talent scout. Ini bener-bener masa yang menyenangkan dan penuh pembelajaran.

Kelas 1, superb starting point!

Kelas 1 adalah kelas terbaik selama SMA. Saya masuk kelas 1-8, dengan ruangan terpencil di bangunan milik SMAN 5 Bandung, satu-satunya ruangan kelas SMAN 3 yang berlokasi disana. Tapi keuntungannya, selain dekat dengan masjid Masiina Shalihin (masjid bersama SMAN 3 dan 5), keterpencilan kami secara geografis dari kelas-kelas 1 lainnya justru membuat kami sekelas sangat dekat. Saya kenal dengan baik semua teman di kelas dan punya beberapa sahabat sangat dekat yang hingga kini masih berkomunikasi dengan intens.

Saya turut berkontribusi sebagai pengurus kelas, divisi kebersihan dan sukses bersikap strict selama setahun. Lumayan, kelas kami termasuk salah satu kelas terbersih saat itu. Hehehe. Sahabat saya Imam dan Chantika bergantian menjadi ketua kelas. Bersama dengan Bayu yang saat itu mengemban amanah sebagai ketua Rohis kelas, kami berempat adalah representasi 1-8 untuk MPK sekolah. Kami tim yang solid, baik di dalam kelas maupun luar kelas. Di dalam kelas, kepengurusan kelas mengadakan program untuk menjadikan tiap hari sebagai hari seseorang, dan seluruh kelas diminta menulis sesuatu untuknya, baik kesan, nasihat, kritik, atau pujian. Saya, Imam dan teman-teman lain juga bahu-membahu mengurus tim sepakbola kelas. Saat itu saya ditunjuk menjadi manajer sepakbola kelas. Lucunya, nggak hanya ­in-charge mengatur line dan rotasi pemain saat pertandingan (terutama futsal), kami juga sering pakai waktu istirahat untuk main game sepakbola—bergantian menyebut nama pemain sepakbola, dan yang mentok itu yang gugur. Dan beberapa kali saya menaang. Hohoho. Selain itu, kami juga menghidupkan Rohis. Kegiatan terakhir ini didukung juga oleh divisi Rohis dari DKM AF yang sangat suportif.

MPK merupakan starting point saya dalam kehidupan berorganisasi, sesuatu yang menjadi sangat lekat dalam kehidupan saya tahun-tahun berikutnya. MPK saat itu diposisikan seperti DPR dalam struktur pemerintahan Indonesia, meskipun senior selalu bilang, zaman dulu MPK itu posisinya seperti MPR dan harusnya memang demikian. Ya biarlah, sebagai anak kelas 1, saya belajar saja dulu. Pada awalnya saya masih banyak diam untuk beradaptasi, tapi syukur, itu tidak berlangsung terlalu sulit. Teman-teman baru yang saya temui sangat bersahabat dan terbuka, kakak-kakak kelas juga amat ramah dan menginspirasi. Satu hal yang amat berharga, saya merasa dipercaya disini. Dan perasaan dipercaya itulah yang kemudian saya rasa, banyak membantu proses unleashing berbagai potensi saya. Saya merasa ‘ditemukan’ dan dihargai disini. Saya cepat merasa kerasan, bisa menganggap MPK seperti rumah saya. Sense of belonging, itu istilahnya.

Sampai saat ini, kalau ditanya, “Kenapa memutuskan masuk MPK dan bukannya OSIS?”, jawaban saya nggak akan cukup bagus. Hehehe. Alasan saya simple dan sempit, “Karena MPK buka rekrutmen lebih dulu,” selain karena ada nama-nama kondang sejak zaman MOST yang juga saya lihat di MPK, seperti Kang Oki Earlivan, Kang Iwa Kartiwa, juga Teh Kartika Akbaria. ^^ Apapun alasan awalnya, ini adalah starting point yang tepat. Tahun-tahun berikutnya, kami membentuk tim yang sangat kuat dan bahkan disebut ‘lebih kuat dari OSIS’ saat itu. =p #abaikan

Kiprah di MPK saya mulai dengan menjadi kepala komisi V, yang bertugas mengawasi dan bekerjasama dengan seksi V OSIS, yang saat itu diketuai Kang Jaka Arya. Anak kelas 1 mengawasi kakak kelas 2? Hueee. Apalagi Kang Jaka itu panitia MOST yang eksis luar biasa, sementara saya newbee tidak berpengalaman. Sungguh sulit. Hehehe. Tapi kakak-kakak kelas yang saya temui kemudian ternyata bersikap sangat rendah hati dan mau membimbing. Saya berinteraksi dengan mereka tidak hanya dalam urusan organisasi, tapi juga di luar organisasi, misalnya bertanding main scrabble!! Hanya satu lawan yang belum pernah bisa saya kalahkan, yaitu Kang Oki ketua MPK itu—dan baguslah, sebab Kang Oki harus mempertahankan reputasinya sebagai alumni Inggris. Hehehe. Tahun yang menyenangkan. :)

Tahun ini pula, 2002, saya mulai mengikuti kegiatan mentoring. Saat itu mentor saya adalah kakak kelas saya, angkatan 2004, Teh Krisna Adiarini (Teh Nana) dan Teh Fetri. Mereka berdua adalah mentor yang baik, membumi dan menginspirasi. Teh Nana adalah salah satu teladan saya di sekolah, sudah seperti kakak saya sendiri, sementara Kang Oki adalah senior dan pembimbing di MPK, juga sudah seperti kakak sendiri, makaaa ketika beberapa tahun kemudian mereka menikah, itu benar-benar jadi kejutan yang menyenangkan untuk saya!! Hehehe. Alhamdulillah. Sayangnya, saya kelas 1 ini masih banyak belum ‘mudeng’. Meskipun mentoring adalah aktivitas yang seru, tapi saya belum menjadikannya sebagai sebuah prioritas. Mentoring ini statusnya wajib dan rutin diadakan setiap waktu Jum’atan, dan masalahnya, setiap Jum’at pula kegiatan belajar di sekolah selesai lebih cepat. Jadi, sering sekali teman-teman alumni SMP kemudian bersepakat untuk berkunjung ke SMP, dan saya…selalu ingin ikut. Ditambah dengan beberapa kali ada rapat MPK. Jadilah, beberapa kali saya absen mentoring… Fiuh.

Bulan April tahun 2003, semester kedua kelas 1, ada dua momen penting terjadi. Pertama, Latihan Kepemimpinan Siswa. Kakak-kakak kelas selalu bilang, hidup mereka nggak pernah sama lagi sejak ikut LKS, jadi sejak jauh-jauh hari saya sudah antusias mempersiapkan diri (mempersiapkan mental, maksudnya) untuk mendaftar. Apalagi kemudian ternyata ditunjuk menjadi komandan siswa (dansis) bersama Imam, makin semangatlah saya. Kerjaan saya saat itu bertambah, ngider-ngider tiap kelas tiap jam istirahat untuk menyebarkan informasi, dll. Nambah teman, nambah pengalaman. Senaaang. :D

LKS bukan kegiatan yang ringan. Ada kegiatan selama dua minggu (CMIIW) yang harus diikuti sepulang sekolah, terdiri atas kegiatan fisik (seperti berlari, membentuk formasi, dll) dan pemberian materi (yang sungguh-sungguh enlightening, untungnya), dengan kakak-kakak kelas yang tiba-tiba menjadi ekstra strict. Kami dituntut untuk bergerak sigap, berpikir cepat di bawah tekanan, terus bersemangat dengan beban fisik yang terus ditambah berat, sambil tetap saling memperhatikan satu sama lain dengan teman. Apalagi saya Dansis, saya harus bertanggung jawab atas seluruh teman-teman saya. Salah satu momen yang paling berkesan adalah saat kami ber-40 (again, CMIIW, it’s been more than 8 years ago!) harus minum dari satu botol yang sama. Hahaha. Saat itu rasanya segala indera sensitive saya, saya nonaktifkan dulu. =p Kami ditempa demikian keras sebenarnya untuk kebaikan kami sendiri juga, sebab, tidak berakhir di dua pekan itu, LKS kemudian juga dilanjutkan dengan fase penempaan di alam, yang tidak kalah challenging dan menyiksanya. Menyiksa mental, salah satunya. Oh bukan menyiksa, menempa! Hohoho.

Momen kedua yang juga penting yang terjadi di bulan ini adalah, pendaftaran AFS! Seleksi pertukaran pelajar selama beberapa bulan hingga setahun ke negeri asing. Awalnya saya sempat berniat mengurungkan niat saya mendaftar, karena kesibukan LKS dan pelajaran yang menggila, tapi kontemplasi singkat pada suatu sore hening—yang sebenernya adalah sesi evaluasi tapi pikiran saya malah ngelantur kesini—kemudian menguatkan lagi tekad saya untuk menjajal kesempatan ini. Tanpa ekspektasi! Lulus syukur—bener-bener syukur tentu—nggak lulus juga ya gapapa, nothing to lose. Hehehe. Saya kepikiran daftar juga karena waktu itu lagi asyik-asyiknya ngurus tim sepakbola kelas dan baca komik sepakbola Jepang Shoot!, Offside dan Kapten Tsubasa dan penasaran gimana sih sebenarnya klub sepakbola SMA di Jepang. =p Selain tentu, alasan-alasan idealis lain yang bikin saya penasaran dan pengen mencoba belajar disana. Nantilah saya ceritakan di posting tersendiri tentang AFS ini.

Begitu banyak hal terjadi selama setahun ini. Setahun yang betul-betul kaya; kaya pembelajaran, kaya kegembiraan. Selama setahun itu saya bener-bener berkembang jadi pribadi baru, yang setidaknya nggak secupu tahun sebelumnya. Contoh sederhana, awal SMA saya masih menggantungkan suasana emosional/mood saya hari itu pada gimana sikap orang terhadap saya atau apa kejadian yang terjadi hari itu. Kalau ada aja satu kejadian nggak menyenangkan, mood saya bakal rusak dan saya bakal bête seharian. Nggak peduli. Hal ini berubah sejak saya baca buku 7 Habits for Highly Effective Teens dan Don’t Sweat the Small Stuff for Teens dan kemudian ikut LKS. Ada chapter tentang bersikap proaktif di buku 7 Habits yang betul-betul berkesan, dan kemudian diperkuat dengan pembahasan mengenai ‘Jangan Muntahi Teman!’, ‘Berdamai dengan kesalahanmu!’ dan pembahasan-pembahasan lain di buku Don’t Sweat. Sejak itu saya belajar untuk lebih bertanggung jawab atas diri saya sendiri.

Segala hal yang terjadi selama setahun kelas satu ini membimbing saya untuk belajar juga tentang takdir, bahwa everything happens for a reason, hidup mungkin Nampak random, tapi sebetulnya ia terangkai dalam suatu desain Maha Agung, yang mungkin nggak bisa langsung kita pahami maknanya saat itu, tapi dengan positivity suatu saat akan kita temukan juga mengapa.

Awal kelas 1, saya sempat mengikuti seleksi masuk kelas akselerasi—ya itu, menyelesaikan SMA dalam waktu 2 tahun. Kenapa mendaftar? Kalau dipikir sekarang, nggak ada alasan kuat juga selain kecenderungan impulsif saya aja untuk mencoba setiap kesempatan yang ada. Nyatanya, saat dinyatakan nggak diterima karena nggak mendapat rekomendasi dari guru, saya bener-bener kecewa dan nggak bisa berhenti menangis di tangga menuju kelas 1-8. Sampai ada teman yang melihat dan mereka merubung saya untuk menghibur. Hehehe. Nggak berhenti disana, sampai beberapa saat kemudian saya masih terus larut dalam perasaan kecewa.

Baiknya Allah, Dia nggak membiarkan saya bertanya-tanya terlalu lama. Setahun kemudian, jelaslah semuanya. Kalau saya masuk kelas akselerasi, saya nggak akan bisa sedemikian aktifnya dalam organisasi kesiswaan sekolah dan berkembang seperti saat itu, saya nggak akan mengalami masa-masa menyenangkan jadi bagian kelas 1-8, dan saya nggak bisa ikut seleksi AFS! Pelajaran berharga… 🙂