Kelas I: Pemula Labil yang Keras Kepala
Yah, namanya juga anak SMP. Puncak kelabilan, puncak ke-nggakjelas-an. :)) Dan tiga tahun ini luar biasa penuhnya dengan kontradiksi.
Tahun pertama saya jalani di SMP Negeri 1 Serang. Berdasarkan placement test yang dilakukan di awal masa orientasi siswa, kami ditempatkan di kelas 1-A, kelas unggulan, katanya. Tapi sayang, status kelas unggulan itu tidak lantas membuat kami jadi punya hubungan dekat dengan guru-guru. Sedihnya, kami malah disebut kelas ngelunjak, sombong, nggak sopan. 😦 Padahal itu hanya karena salah paham beberapa pihak aja yang sayangnya jadi generalisasi.
Di SMP kelas 1 saya pertama kali kenal konsep geng. Saya cukup beruntung punya teman-teman yang baik dan status sosial yang relatif aman, damai dan tentram. Tapi saya lihat setiap hari gimana menderitanya teman-teman yang nggak ‘belong to’ grup tertentu dan karena berbagai ‘kekurangan’ atau hal di bawah standar, selalu menjadi objek pennderita atau korban penindasan. Bahan tertawaan, sumber ejekan. Menyedihkan banget. 😦 Saya selalu nggak suka melihatnya, tapi dengan kekuatan mayoritas seperti itu, saya cuma bisa mengalihkan pandangan akhirnya, setelah pembelaan yang nampaknya tidak berguna di awal. Sebenarnya sih kalau sekarang saya pikirkan lagi, meskipun saat itu nampak nggak berguna, dalam hati saya selalu tahu harusnya setahun itu saya jadi anak yang lebih berani membela teman, meski terhadap sahabat-sahabat sendiri. 😦
Terlepas dari ketidakadilan sosial yang mengusik nurani selama dua belas bulan penuh itu, kehidupan saya bener-bener standar, persis sinetron remaja TV. Sekolah, memandangi teman pakai make-up (serius, memandangi, karena meski teman-teman saya mulai gemas untuk membujuk saya menyisir rambut, pakai bedak dan menyemprotkan parfum setiap istirahat dan pulang sekolah, saya tetep nggak dapet jiwa untuk mengaplikasikannya sendiri :)), ikut ekskul PMR, dan seminggu dua kali les bahasa Inggris ke LIA Cilegon.
Seemingly, life was fine, tapi Ayah tahu something was still wrong. Saya juga tahu, tapi saya nggak mau tahu. Sejak awal saya dapat menstruasi, sekitar enam bulan sebelumnya, Ayah sudah mulai minta saya berkerudung. Saya menolak.
“Di kelas nggak ada yang pakai kerudung, kenapa aku harus beda sendiri??”
“Aku nggak mau beda sendiri.”
“Ibu juga pake kerudung waktu kuliah kok. Aku juga nanti aja.”
“Kerudung itu harus keputusan sendiri, Yah. Nggak boleh karena orang lain. Nggak boleh dipaksa.”
Kalau urusan cari alasan, saya memang paling pinter..
Ayah nggak putus asa. Ayah tahu sejak kecil saya anak yang pegang mimpi, dan akan melakukan hampir apa aja untuk mencapai mimpi itu. Dan Ayah tahu pasti saya ingin sekali bisa sekolah di SMA Negeri 3 Bandung. Jadi, menjelang penghujung tahun ajaran kelas 1 SMP, Ayah bilang, “Teteh pengen masuk SMAN 3 Bandung kan, ya?”
Saya mengangguk.
“Masuk SMA Bandung akan lebih mudah untuk anak-anak yang sekolah di SMP di Bandung.”
Saya penasaran.
“Mau pindah ke Bandung?”
“Mau!” Saya nggak berpikir.
“Boleh,” kata Ayah, “Tapi pergaulan di Bandung itu nggak seaman di Serang. Ayah hanya akan tenang ngasi Teteh sekolah di Bandung kalau Teteh pakai kerudung. Karena kerudung itu yang akan melindungi Teteh.”
Saya diam. “Jadi boleh pindah sekolah ke Bandung asalkan pakai kerudung?”
Ayah tersenyum melihat saya berpikir.
“Boleh,” saya setuju. Kesepakatan pun diambil.
Menjelang hari keberangkatan. “Ayo pakai kerudungnya, Teh,” Ayah mengingatkan.
Saya masih ngeyel. “Perjanjiannya kan nanti kalau sudah sampai di Bandung.” Ayah geleng-geleng kepala. Tapi itu nggak bertahan lama. Akhirnya hari yang ditunggu tiba juga. Melewati Tangerang, Jakarta, Bekasi, akhirnya mobil keluar juga melalui gerbang tol Pasirkoja. Ayah menoleh ke bangku belakang sambil tersenyum. “Nah, sudah di Bandung, ya.”
Saya memang masih labil, tapi saya tahu janji itu harus ditepati dengan konsekuen. Kerudung saya pakai juga dengan campur aduk perasaan. Saat itu saya memasuki fase baru kehidupan SMP.
Kelas II: Transisi dan Inspirasi
Hidup SMP saya memang memasuki babak baru setelah pindah ke Bandung. Beradaptasi lagi dengan kota, sekolah dan teman-teman baru sebenarnya bukan masalah yang terlalu besar karena sejak kecil saya dan keluarga memang sudah sering pindah-pindah tempat tinggal–selama SD saja, saya pindah sekolah sebanyak 3x di tiga provinsi berbeda. :))
Kali ini lebih terasa istimewa sebab, ini tahun pertama saya menjalani hidup sebagai remaja berkerudung–apapun motivasi asalnya. :)) Perlu waktu sekitar setahun untuk saya benar-benar menginternalisasi kerudung dalam kehidupan, jiwa dan karakter saya. Sebab, sejak sebelumnya saya sudah punya perspektif sendiri tentang bagaimana seorang berkerudung itu seharusnya berkarakter dan bersikap, dan perjuangan untuk menyamankan diri dengan kerudung itu bermakna juga proses perjuangan untuk bridging (menjembatani) antara karakter saya sebelumnya dengan karakter yang saya pikir saya harus menjadi setelah berkerudung. :))
Rumit ya, dan terus terang saya baru benar-benar dapat jawaban yang 100% menentramkan hati setelah membaca tulisan Salim A.Fillah tentang Islam dan Pelangi di buku Agar Bidadari Cemburu Padamu bertahun-tahun kemudian. Inti pesannya, Islam itu tidak lantas menjadikan setiap pemeluknya berwarna sama serupa dan monoton, tapi menjadikan potensi putihnya menjadi bersih suci untuk kemudian berkilau dengan warna masing-masing seperti pelangi. Buktinya, karakter para shahabiyah terkemuka pun kan bermacam-macam. 🙂
Masa SMP itu masa pencarian, itu benar. Selama duduk di bangku SMP saya selalu merasa hidup saya terlalu ordinary, tiap hari sama, rasanya minim makna. Sampai kapan saya akan jadi anak biasa-biasa saja? Saya sekolah pagi setiap hari, pulang sekolah latihan karate, dan kalau ngga ada jadwal, lalu main ke rumah teman. Obrolan dengan teman berkisar antara pelajaran sekolah, gosip-gosip terbaru, kecengan masing-masing, musik dan film. Dalam hati saya merasa nggak puas, tapi betul-betul clueless tentang apa yang harus diperbaiki. Secara kasat mata prestasi sekolah saya terjaga baik, hubungan dengan teman-teman juga akrab dan solid, tapi ya itu tadi, dalam hati belum merasa ada aktualisasi. Minim pencerahan, minim inspirasi.
Kalaupun ada pembelajaran bermakna yang terjadi selama setahun ini, jika saya pikirkan sekarang, itu adalah pembelajaran sosial tentang gap kondisi kota Bandung. Waktu itu saya merasa sangat nggak nyaman melihat bagaimana cantik dan apiknya daerah Bandung Utara seperti Dago dan Setiabudi sementara wilayah Selatan dibiarkan tandus dan kurang terpelihara. Hal ini lebih nyata di mata saya sebab saat itu saya akhirnya memutuskan bersekolah di SMP 3 Bandung (meskipun ikut seleksi dan diterima juga di SMP 2 Bandung). Dan berbeda dengan SMP 2 Bandung yang berlokasi di wilayah elit Bandung dan terdiri pula atas siswa-siswi golongan menengah ke atas di Bandung, SMP 3 Bandung memiliki konstituen siswa hampir seluruhnya dari wilayah Bandung Selatan, yang seperti saya siratkan di atas, banyak terdiri atas masyarakat dengan golongan ekonomi rata-rata menengah ke bawah.
Ah mirisnya, jika kondisi dalam kota Bandung (ibukota provinsi Jawa Barat) saja sebegini timpangnya, apalagi perbandingan kondisi antara Jakarta atau daerah perifer tanah air seperti Maluku atau Papua? Pemikiran dan keprihatinan ini bertahan sejak berseragam putih biru hingga kini, karena rasanya belum banyak kemajuan berarti meski bertahun-tahun sudah berlalu. Semoga suatu hari nanti saya bisa jadi bagian orang-orang yang memperbaiki kondisi ini. Amin.
Pencerahan yang dinanti-nanti akhirnya muncul di suatu malam, saya kira di bulan Desember atau Januari, dari majalah Gadis! Agak berbeda dari transisi usia normal, saya berhenti baca majalah Bobo kelas 3 SD, dan beralih pada tabloid Bola atau GO. Kelas 5 SD, saya mulai sesekali membeli majalah Kawanku dan Gadis, dan berlanjut hingga kelas 3 SMP. Dan ini bagaimananapun, termasuk hal baik pula, sebab saya mendapat pencerahan hidup dari salah satu edisi tahunan majalah Gadis! (sebagai catatan,saat itu majalah-majalah yang saya sebutkan di atas belum jadi majalah yang berisi mayoritas artikel fashion atau gosip, seingat saya unsur pengembangan dirinya masih lebih kental)
Di majalah itu pertama kali disebutkan kalau sebagai remaja kita harus bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas diri sendiri dan kemudian, bagaimana hidup itu harus dijaga seimbang seluruh dimensinya. Mulai dari dimensi intelektualitas, jiwa (spiritualitas), sosioemosional dan fisik. Lengkap pula dijabarkan bagaimana contoh kiat-kiat dan aktivitas bagaimana mengembangkan setiap dimensi tersebut. Wah!!
Malam itu rasanya kamar tidur saya terang benderang. Pikiran saya tiba-tiba terasa terbuka lebar. Lalu saya menangis, menyadari betapa selama ini hidup saya belum dioptimalkan, dibiarkan berjalan begitu saja, taken for granted, as it flows. Saya berdoa sungguh-sungguh pada Allah swt semoga saya masih diberi kesempatan hidup hari-hari esoknya, supaya saya masih dapat mencoba menerapkan pesan yang saya dapat di Majalah Gadis itu. Agar saya masih dapat mencoba berusaha mengoptimalkan hidup saya. 🙂
Sejak itu, saya rasa hidup saya nggak pernah sama lagi. 🙂
Kelas III: Kelas Unggulan
Ini adalah bagian terakhir kehidupan SMP, kehidupan transisi, juga bagian terbaik. 🙂 Di akhir masa kelas 2, diadakan placement test lagi di sekolah, dan alhamdulillah saya bisa masuk kelas unggulan. Ini momentum penting untuk saya, sebab saya sadari betul bahwa lingkungan kondusif amat berpengaruh bagi optimalnya pertumbuhan diri seseorang. Di kelas ini semuanya pintar dan rajin, punya talenta dan berani–sebuah batu loncatan berharga sebelum mempersiapkan diri masuk SMA 3 Bandung tahun depannya.
Sejak kecil meski punya prestasi akademis yang terjaga baik, sejujurnya saya nggak pernah mengkonsiderasi diri saya sebagai seorang yang pintar apalagi jenius. Adaptif dan mau berusaha sudah cukuplah. Jadi, perasaan saya biasa saja ketika semester berikutnya, saya yang biasanya selalu masuk tiga besar, tiba-tiba ‘hanya’ mendapat peringkat ke 8 di kelas unggulan ini. Ah, orientasi saya jelas, saya mau mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk masuk SMA 3 tahun depan. Yang penting saya terus belajar dan optimis, berani dan menikmati hari-hari terakhir sebagai siswa SMP, yang penting saya nggak kalah usaha dari teman-teman lainnya. Waktu itu ada satu quote yang selalu jadi penyemangat belajar dari guru bahasa Indonesia saya, bu Endah, “Jangan berhenti belajar. Jangan merasa malas. Jangan merasa cukup. Bisa jadi saat kamu berhenti, teman-temanmu sedang berpacu. Kompetitor-kompetitormu sedang berlari bersiap. Jadi kamu harus terus siaga dan maju!” Ah, terima kasih ya Bu Endah, quote ini telah berhasil menyelamatkan saya dari situasi semalas apapun. 🙂
Di Bulan April, beberapa siswa paling unggul di kelas dipanggil untuk persiapan kompetisi cerdas cermat antar siswa SMP di Jawa Barat. Saya, yang hanya peringkat 8, tidak punya ekspektasi apapun. Tidak dipanggil ya tidak apa-apa, target saya SMA 3 kok. :)) Tapi ternyata, dipanggil juga. Kok bisa? Beberapa teman juga bertanya-tanya. :)) Rupanya, karena para guru memandang kemampuan bahasa Inggris saya adalah (salah satu) yang terbaik di kelas, dan untuk memperkuat tim unggulan Adit (juara umum sekolah sejak kelas 1) dan Ibnu (yang jenius), saya diharapkan jadi komplemen yang bisa diandalkan dalam bahasa Inggris. Hehehe, jadilah saya ikut kelas persiapan intensif juga.
Ternyata, alhamdulillah!! Tim kami berhasil memenangkan kompetisi tersebut dan menyabet gelar juara pula di kompetisi-kompetisi berikutnya: Quiz Contest di UPI, juga cerdas cermat kebudayaan yang diselenggarakan STIE-EMINEN. Senang juga. 🙂
Apa bagian paling menyenangkan? 1. Bisa menyumbangkan piala dan menorehkan prestasi atas nama sekolah, 2. Bisa jadi motivation-booster bahwa saya juga bisa melakukan sesuatu yang besar, iya…ini yang saya pikirkan sejak setahun sebelumnya, aktualisasi diri…Gimana supaya diri saya ini punya makna, minimal buat lingkungan saya? Dan nggak hanya jadi bagian dari statistik bahwa pernah ada seorang pelajar putri yang bersekolah disini… 3. Bisa dapat sahabat-sahabat dekat, karena sejak setim saat itu, saya, Adit dan Ibnu jadi tim yang luar biasa, selain sebagai mutual fans Sherlock Holmes dan Agatha Christie. Hehehe. Ini yang priceless. Saya dan Adit kemudian terus menjadi teman sealmamater di SMA 3 Bandung dan FK Unpad, sedangkan Ibnu meskipun melanjutkan ke SMA Taruna Nusantara, Magelang dan UGM selama bertahun-tahun setelahnya tetap rutin berkirim surat.
Satu hal lagi, keberanian dan fokus pada target itu juga jadi hal-hal yang saya ingat pada tahun-tahun itu. Seperti yang saya tulis di tulisan sebelumnya tentang gap antara Bandung Utara dan Selatan, sebenarnya ada impact-nya juga bahkan bagi remaja SMPnya. Setelah masuk SMA 3 tahun depannya dan bertemu dengan anak-anak pintar se-Bandung, Jawa Barat dan bahkan Indonesia, saya bisa membandingkan. Anak-anak elit sekolah Bandung Utara lebih berani bermimpi besar dan bercita-cita tinggi. Saya ingat sebuah episode di laboratorium biologi saat di kelas unggulan, kelas 3 SMP.
Guru biologi menatap mata kami semua. “Acungkan tangan yang mau masuk SMA 3 Bandung!” Tadinya saya nggak punya keraguan bahwa akan banyak anak lain yang mengacungkan tangannya, sebab keinginan masuk SMA 3 ini keinginan jamak yang sering diperbincangkan. Jadi dengan cepat saya acungkan saja tangan saja. Dan betapa terkejutnya! Yang mengacungkan tangan hanya kurang dari 5 anak. Guru biologi juga nggak kalah terkejutnya, “Lho? Kenapa kalian ini? Kalian ini kelas unggulan, lho! Untuk apa masuk kelas unggulan kalau bercita-cita masuk SMA 3 aja nggak berani?!”
Haah. Mirisnya.
Waktu saya lulus SMP, percaturan nilai kelulusan masih ‘normal’, belum supranatural seperti sekarang dimana rata-rata nilai anak-anak bisa mencapai lebih dari sembilan koma, atau bahkan nilai sempurna. Oh ya bukan rahasia lagi sebenernya, kunci jawaban beredar sebelum ujian, dan makanya banyak anak yang prestasi akademis kesehariannya sebenernya memprihatinkan, tiba-tiba aja dapet nilai kelulusan yang melejit. Tapi apakah itu berpengaruh terhadap keberanian mereka? Nyatanya nggak. Itu nggak membuat mereka lebih yakin mendaftarkan diri masuk SMA 3 Bandung–saya sebut sekolah ini terus karena memang ini sekolah yang selalu jadi indikator sekolah terbaik di kota Bandung, dan Jawa Barat, dan salah satu yang terbaik di Indonesia. Jadi keberanian nggak lantas ada hubungannya secara langsung dengan nilai kelulusan yang tinggi, karena tanpa keyakinan penuh akan kemampuan diri yang murni, mana bisa orang percaya diri berkompetisi? Nah itu satu hal.
Tapi ada hal lain lagi tentang keberanian, dan ini saya lihat pada sahabat-sahabat terdekat saya sendiri, ketika kelulusan SMP dulu. Salah satu teman sekelas saya juga langganan juara umum. Sejalan dengan prestasinya yang memang murni dan kontinu, nilai kelulusannya juga baik. Nggak ada keraguan, insyaallah bisa tembus SMA 3 Bandung. Tapi bagaimanapun saya mencoba meyakinkan sahabat saya ini untuk bersama-sama masuk SMA 3 Bandung, dia tetap menggeleng. Kenapaa? “Di SMA 3 Bandung, belum tentu saya bisa berkompetisi. Lebih kecil kemungkinan saya bisa tetap jadi juara umum. Lebih baik saya tetap jadi juara di tempat yang lebih kecil, daripada jadi orang ‘standar’ di tempat besar.” Hmmmmmmm. Saya speechless. Apa iya begitu prinsipnya?
Saya nggak sepakat, dan saya merasa itu bukan prinsip yang benar, tapi saya nggak tahu jawaban yang tepat untuk menjawabnya dan yang terpenting, itu hidup sahabat saya dan dia punya kewenangan penuh untuk ambil keputusan apa saja. Jadi melangkahlah kami di jalan masing-masing.
Setahun berikutnya, di SMA 3 Bandung, saya baru menemukan jawabannya. Sejak itu saya tidak dapat berhenti bersyukur; atas kenekatan dan keberanian saya. Saya mengambil keputusan yang tepat. Hehehe.