Selama setahun sebelumnya sejak masuk SMA 3, aku beralih menjadi anak SMA yang begitu sibuk. Waktuku sebagian besar di sekolah. Sebagai anak MPK, ngawasin kerja OSIS; sebagai anggota ekskul, latihan-latihan dan pertemuan; sebagai pelajar, memenuhi tugas-tugas. Pergi pagi-pagi pulang malam. Dibanding SMP, aku lebih jarang belajar. Ke kelas pun kerap nggak hadir karena dispensasi urusan organisasi. Aku sibuk, aku capek. Setiap hari adalah rutinitas. Dan aku punya waktu lebih sedikit untuk berpikir.

 Secercah cahaya datang!! Inspirasi untuk ikut seleksi pertukaran pelajar, yang akhirnya di-ACC Allah swt sehingga tahun depannya aku benar-benar berangkat sebagai siswa pertukaran ke negeri-yang-sama-sekali-asing, Jepang. Negeri dimana penganut Islamnya sangat sedikit. Negeri yang agak materialis dan tidak begitu religius…Tapi aku jatuh cinta padanya dan memutuskan untuk menjalani kehidupan baru dengan segala tantangannya di sana—sendirian, selama setahun, di usia yang baru 15 tahun lebih.

 Menakjubkan! Melebihi segala antusiasme akan perjalanan ke luar negeri untuk pertama kalinya,melebihi kelegaan nggak perlu belajar fisika untuk sementara—aku terpukau karena selama perjalanan ini aku merasa hidupku seperti di’pause’ untuk sementara. Tepatnya, hidupku di Indonesia. Rasanya seperti aku ditarik keluar dari satu arus dan aku bisa memandangi arus tadi dari pinggir sungai. Mengamatinya, menganalisis segala komponennya. Aku melihat hidupku secara lebih objektif, dari luar. Tersadarkan aku akan banyak hal yang luput untuk kusyukuri, akan segala hal melelahkan yang telah kehilangan esensi, akan segala atribut dan karakter yang dibentuk kuat dari pengalaman masa lalu, latar belakang, dari mana aku berasal. Ada beberapa hal dalam kehidupan yang tidak bisa aku pilih—aku mau terlahir sebagai perempuan atau laki-laki, anak Indonesia  atau Prancis,suku Sunda atau Tionghoa…Dan semua orang pun!

 Sebelumnya, karena ketidakdewasaan dan jiwa mudaku yang meledak-ledak dipicu egoisme, aku kerap tidak bisa memahami maksud orang tuaku—termasuk Nenek, Kakek, tante-tante, paman-paman. Perhatian mereka kuartikan sebagai upaya mencampuri urusan, arahan mereka kupandang sebagai pengekangan. Dan mereka tampak sebagai manusia-manusia tua yang tidak akan pernah bisa memahamiku.

 Tapi, ketika aku berlayar sendirian aku akhirnya menyadari kebenarannya. Aku punya orang tua terhebat di dunia! Kadang memang ironis,aku baru menyadari betapa aku menyayangi keluargaku setelah jauh dengan mereka. Setelah peluang berkomunikasi menjadin terbatas—selama di Jepang, less phone calls, letters and e-mails are better. Aku baru mafhum bahwa aku membutuhkan semua arahan ortu, nenek, kakek, ketika akhirnya dihadapkan pada situasi-situasi yang harus kupecahkan sendiri. Aku sepenuhnya bertanggung jawab pada diriku. Segala keputusan yang aku ambil akan berpegaruh terhadap masa depanku. Aku membawa nama negara dan agama. Tidak main-main! Aku semacam diplomat ’junior’. 🙂

 Hal kedua, mengenai tanah airku. Di Indonesia, berita yang terutama muncul adalah berita-berita menyesakkan. Lihatlah koran-koran, maka yang terutama muncul sebagai headline adalah keprihatinan. Ya, aku tak memungkiri bahwa itu memang kenyataan yang benar-benar terjadi dan karena itu harus kita terima, tapi, untuk maju ke masa depan yang lebih baik, kita harus punya sedikit kebijaksanaan yang lebih untuk mengakui bahwa bangsa ini bagaimanapun masih punya kebaikan. Kebaikan yang harus dioptimalkan sehingga menjadi peluang! Dan semuanya baru aku sadari ketika aku terpisah jauh dari tanahku.

 Berada di negara maju dengan segala pernak-pernik kekayaannya, modernitas, kemudahan fasilitas, dan keindahan alamnya memang membuatku begitu bersyukur karena pernah merasainya. Sudah kukatakan aku jatuh cinta pada Jepang bahkan sebelum aku benar-benar menginjakkan kaki di sana. Tapi terlepas dari itu ada romantisme lain yang tumbuh dengan mekar…Aku juga jadi jauh lebih mencintai tanahku. Indonesia! Segala kehangatan, religiusitas, kejujuran, kedekatan dengan Tuhan swt, pemahaman lebih akan hakikat hidup, kesabaran, pengorbanan, semangat muda, keberanian! Semua, terutama mengenai generasi muda Indonesia yang insya Allah takkan mengecewakan. Semuanya kurindukan!

God, batinku. Aku berkesempatan untuk bersekolah di dua sekolah terbaik. SMA Negeri 3 Bandung, dan SMA putri Seishin. Dua karakter berbeda, keunggulan masing-masing. Seishin yang cantik, berbudi pekerti, anggun, sekolah termahal di prefektur Niigata. SMA 3? SMA 3 adalah harapan! Kalau ada orang yang bertanya manakah fase hidup yang benar-benar kubanggakan karena sangat menempa karakterku, maka aku secara tegas akan menyatakan bahwa itu adalah keberhasilanku untuk masuk SMA 3. Dan bahkan kebanggaanku berlipat-lipat setelah aku cuti bersekolah. Aku semakin menyadari betapa pandai anak-anak Indonesia! Secara potensi kita tidak kalah sama sekali. Kita punya bakat-bakat emas. Jangan tertipu oleh orang-orang yang menyatakan negara kita tidak punya harapan dan terbelakang. Kita tidak kalah! Aku percaya sepenuhnya dengan kesungguh-sungguhan kita bisa melakukan perubahan di masa depan. Aku belajar bersama-sama pelajar Jepang, Jerman, Thailand, Amerika, Australia, New Zealand, Bolivia, Brazil, dan aku membatin dengan takjub, ”Teman-temanku di SMA 3 tidak kalah pintarnya dengan mereka—bahkan lebih!!!” Dan aku bangga menjadi bagian dari mereka.

 Pada akhirnya fragmen-fragmen beranjak utuh. Akan kulengkapi lagi juga saat ini, sejak 6 Februari 2005 lalu, dimana akhirnya aku meninggalkan second home country-ku. Pada hari itu aku menekan ulang tombol start di kehidupan Indonesiaku. Aku telah meninjau dan kini aku kembali.

 Tadaima!!!!! 🙂

  

Akatsukaeki wo omoidasu

*sore-sore menjelang petang, bersepeda di antara sawah-sawah

Di belakang terminal Akatsuka. Menyapa dengan bersemangat

Petani-petani tua yang gigih,

Dijawab kehangatan dan senyuman menenangkan,

Aku bersepeda menuju matahari yang

Tenggelam meninggalkanku.

Udara segar, pikiranku penuh.

Mengembara ke bumi jawa.*

Waktu pertama kali saya memutuskan untuk memilih Jepang sebagai prioritas pertama host country untuk masa exchange saya, sebetulnya saya belum tahu begitu banyak tentang negara ini. Saya pilih Jepang tanpa bayangan kota spesifik yang ingin saya tuju. Hm, tiap kota apa bedanya, sih? Ya, tentu saya tahu Tokyo. Ibukota negara yang—waktu itu, kabarnya—amat padat, penduduknya jalan buru-buru…ditambah sedikit gambaran dari dorama Tokyo Love Story yang saya tonton waktu kecil.

Makanya ketika saya terima surat keterangan yang menyertakan gambaran singkat keluarga angkat dan daerah yang akan menerima saya selama setahun, yang ada hanya antusiasme. Jadi, saya akan tinggal selama setahun di Niigata-shi, Niigata-ken. Mm, prefektur Niigata. Dimana itu? Pulau Honshu, sama dengan Tokyo, hanya berjarak 300 km ke sebelah Barat Laut. Saya mengingat-ingat. Niigata: pernah dengar tidak, ya? Rasanya pernah sekali, waktu stadion Big Swan, Niigata jadi tempat berlangsungnya pertandingan antara Irlandia dan Spanyol saat Piala Dunia 2002. Tapi ya masih blank juga. Apalagi karena kesibukan di sekolah yang seolah ga ada habis-habisnya padahal sudah dekat waktu keberangkatan (Januari-Maret 2004), saya juga ga sempat surfing di internet dan cari info lebih lanjut—hanya sempat mengirim kartu pos satu kali pada keluarga angkat saya, keluarga Kasahara.

Pertama kali tiba di Niigata tanggal 27 Maret 2004, saat itu sedang musim semi. Udara masih sangat dingin, terutama untuk saya yang datang dari negara yang hangat sepanjang tahun seperti Indonesia. Saya sering menggigil, pakai jaket tebal, kaos kaki, sarung tangan, sampai ditertawakan teman-teman dan keluarga saya di sana. ”Konna no wa mou atatakain da yo!” (Yang kayak gini sih udah hangat, lho!) Hehehe. Saya ketawa-ketawa aja, hitung-hitung adaptasi juga dengan udara dingin. Meski ada yang jadi meragukan apa saya bakal bertahan hidup saat musim dingin yang suhunya mencapai minus derajat—halo, musim semi ’cuma’ 15°C, lho!—tapi saya optimis kalau lama-lama badan saya juga bakalan kebal sama cuaca dingin. Hahaha, I wished.

Saat musim semi, Niigata menjadi istimewa karena sakura bermekaran dimana-mana. Saya sempat pergi sekeluarga untuk melihat sakura malam hari ke Takada Kouen di Joetsu. Bunga sakura yang pink memesona, saat malam hari disinari pencahayaan yang mengagumkan. Subhanallah, keren banget deh! Paginya, biasanya banyak keluarga yang piknik di bawah sakura. Menggelar alas lalu makan sekeluarga. Sakura hanami.

Sekolah-sekolah dimulai akhir April. Di hari pertama saya sekolah, setiap kelas dipotret untuk foto kelas di depan pohon sakura yang bermekaran di depan sekolah. Udara memang masih dingin, tapi beranjak April, matahari mulai bersinar, menghangat. Saking hangatnya, saya ga bisa berhenti tersenyum. Rasanya semua positif! Pokoknya mood saya bagus banget sepanjang hari.

Musim panas, kehangatan itu mulai menggila. 40°C. Orang-orang malas ke luar, lebih baik tetap di dalam rumah yang dingin ber-AC. Kalaupun terpaksa ke luar rumah tentulah dengan pakaian yang super-minimalis—kecuali saya tentunya, saya kan berjilbab. 

Tapi di tengah hal-hal seperti itu, banyak hal lain yang mengagumkan tentang musim panas. Bagaimana mendeskripsikannya? Biru yang sangat biru dan hijau yang amat hijau! Terutama Niigata, yang dikenal sebagai ibukota air karena banyaknya sungai yang mengalir di dalamnya, termasuk sungai terpanjang di Jepang, Shinanogawa. Juga pantai yang mengelilinginya, karena Niigata terletak di pinggir Barat Laut pulau Honshu. Pada musim panas ini pantai sangat ramai. Saya sendiri sepulang sekolah selalu berlari ke pantai bersama kawan satu sekolah saya yang berasal dari Wisconsin, Amerika Serikat. Sekolah saya terletak di dekat pantai.

Juga di musim panas, banyak diselenggarakan festival-festival (omatsuri). Saya sempat hadir selama dua hari omatsuri yang diadakan di kota Nagaoka, kota sebelah Niigata yang juga berada di prefektur Niigata. Dalam omatsuri biasanya ada kembang api (hanabi). Inilah yang patut dibanggakan dari Nagaoka. Hanabi disini adalah yang terbesar di Jepang. Tak heran sepanjang jalan sangat ramai, karena orang-orang se-Jepang banyak berdatangan ke kota kecil ini. Kami menggelar tikar di pinggir-pinggir sungai, mengenakan yukata atau kimono musim panas—lebih tipis, lebih murah –bercengkrama dengan keluarga, dan menyaksikan hanabi yang spektakuler. Sangat menghangatkan hati!

Musim gugur ialah musim kesukaan saya. Kecantikannya begitu memesona. Perpaduan warna-warna bertebaran sepanjang penglihatan: merah, oranye, kuning, hijau, coklat di pepohonan. Aki no kouyou (autumn leaves). Hal ini tidak bisa ditemukan di seluruh bagian Jepang, hanya di tempat-tempat tertentu, termasuk Niigata. Udara sangat segar. Orang-orang masih berselimutkan keceriaan musim panas dan kemuraman musim dingin belum lagi datang… di musim inilah, saya sering terpaku, merenung. Keindahan alam-Nya teramat mengingatkan saya akan keMahabesaran-Nya, akan keberadaan-Nya dimanapun. Kalau ciptaanNya saja sebagus ini, maka tak terbayangkan betapa Maha Indahnya Dirinya!! Haiku-haiku—puisi singkat berlarik khas Jepang, biasanya bertemakan alam—banyak saya hasilkan di musim ini.

Musim dingin suramkah? Mm, sebagai manusia tropis, saya malah antusias! 🙂 Harap maklum, di Indonesia saya kan tidak pernah menemui salju—paling banter lihat di TV. Salju memang kadang merepotkan; kereta jadi tidak sesuai jadwal karena banyak yang terhambat salju yang mengumpul di rel, berkendara di jalan harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir, atap rumah harus secara rutin dibersihkan dari salju karena kalau tidak, salju yang ternyata amat berat ini bisa meruntuhkannya. Belum lagi saat salju turun lebat, jalanan penuh diselimuti salju yang bahkan bisa mencapai lutut saya. Saya harus mengenakan sepatu bot dan berjalan dengan susah payah. Dengan dibalut seragam sekolah musim dingin yang bersweater dan berjas luar, kemudian juga jas musim dingin yang panjang, syal, dan sarung tangan. Memang merepotkan, tapi berjalan di luar sendirian di tengah kesunyian—karena orang-orang malas keluar—amat mengasyikkan pula. Saya banyak berintrospeksi sepanjang jalan. The unforgettable silence, keheningan yang nggak akan pernah terlupakan.

Saat suhu menukik turun mencapai minus, saya lebih suka tinggal di dalam rumah. Lantai di rumah diperlengkapi pemanas, hangat… Saat turun salju saya senang duduk di depan jendela, memperhatikan bulir-bulir putih lembut turun, membasahi jalan yang akhirnya murni putih semua. Saya suka keheningan saat salju turun, rasanya damai. Saat membayangkan betapa dinginnya di luar, saya bersyukur ada di dalam dan bisa menghangatkan tubuh dengan susu coklat hangat.. 

Di akhir Desember, diadakan ski trip untuk siswa pertukaran dari seluruh dunia di Joetsu city. Di tempat ini salju turun dengan lebih lebat sehingga bisa digunakan untuk ski. Menakjubkan rasanya, waktu pertama kali mencoba. Sulit, sulit. Tubuh saya rasanya sulit diseimbangkan, jadi saya terus terjatuh. Tapi lama-lama mencoba, akhirnya bisa meluncur juga. Meski harus hati-hati agar tidak menabrak anak-anak yang sedang bermain disana juga—saya belum bisa mengerem dengan pandai!

Timbunan salju nampak sangat empuk—hehe—untuk ditiduri. Saya dan teman-teman senang berteriak-teriak lalu terjun bebas ke salju yang menggumpal tebal dimana-mana. Dingin! Muka kami sampai merah dan saat berbicara keluar uap. Kelihatan lucu.

Selama di Jepang, saya berkesempatan untuk mengunjungi pula Tokyo, Chiba, Kyoto, Osaka dan Fukuoka. Semua dengan keistimewaan masing-masing. Tokyo dengan keramaiannya, Chiba yang ber-Disneyland. Kyoto yang ancient. Osaka dengan ciri pedagangnya yang sangat ramah. Fukuoka yang begitu berkesan dengan gedung-gedung perkantoran yang terletak tepat di depan pantai-pantai… begitu indah!

Tapi, Niigata tak pernah tergantikan. Like they always say, nothing’s like home! And here’s my second home!!! 🙂

Pertama kali saya tahu ada program pertukaran pelajar untuk SMA dari sebuah cerpen di majalah Kawanku, waktu saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP (kalau nggak salah). Itu pun hanya sekilas membaca dan nggak pernah terpikirkan lagi. Cuma bersitan pikiran, “Wah, seru ya kayaknya kalau bisa mencoba menjalani kehidupan lain di luar negeri…” Nah, saat kelas 1 SMA, awal semester 2, secara nggak sengaja, saya lihat lagi sebuah poster yang ditempel Yayasan Bina Antarbudaya Bandung. Akan diadakan seleksi untuk program pertukaran pelajar ke luar negeri, dan dapat diikuti oleh siswa kelas 1 SMA. Wah, kesempatan.

Publikasi program ini di sekolah saya rupanya cukup booming saat itu, dan banyak teman-teman seangkatan yang juga mendaftar. Kami saling menyemangati untuk ikut di tengah kesibukan akademis dan Latihan Kepemimpinan Siswa yang luar biasa hectic. Melihat komposisi teman-teman yang mendaftar, melihat gimana gemerlapnya talenta mereka, saya nggak punya ekspektasi tinggi-tinggi. Saya hanya berpikir bahwa program ini menarik banget dan merasa kalau saya nggak mendaftar dan ikut seleksi, pasti saya bakal menyesal banget karena penasaran. Akhirnya saya mendaftar di menit-menit terakhir dan mengikuti seleksi.

Ada tiga seleksi dengan sistem gugur di tiap tahapnya yang diadakan AFS-Yayasan Bina Antarbudaya chapter Bandung. Tahap pertama, diadakan di SMAN 3 Bandung, sekolah saya, terdiri atas tes tertulis pengetahuan umum, grammar bahasa Inggris, dan menulis esai dengan tema pilihan. Saat itu, kalau saya nggak salah, ada lebih dari 80 peserta seleksi, dan akan diambil setengahnya (again, CMIIW) untuk seleksi tahap 2. Soal-soal pengetahuan umumnya bener-bener seru, mulai tentang MTV sampai perdana menteri Selandia Baru jadi bagian pertanyaan; soal-soal bahasa Inggris-nya juga cukup menantang, saya percaya diri aja karena rasanya meskipun belum fluent, bahasa Inggris saya nggak jelek-jelek amat hehehe; dan menulis adalah hobi saya. Jadi terlepas dari hasilnya gimana, I had fun.

Ternyata, saya lulus ke tahap 2, bersama dengan banyak teman-teman yang lain, as predicted. Mengambil lokasi di SMP 7 Bandung, Jalan Ambon, tahap 2 terdiri atas tes lisan: wawancara dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada bermacam-macam pertanyaan yang diajukan pewawancara, mulai dari pertanyaan-pertanyaan untuk menggali karakter dan kepribadian, motivasi mengikuti program sampai pilihan negara yang diminati beserta alasannya. Saya jawab tanpa ragu: Inggris dan Jepang! Hehehe. Entah kenapa saya nggak kepikiran untuk memilih Amerika Serikat, negara favorit peserta AFS sepanjang masa. Hehe. Sayangnya sejak beberapa tahun sebelumnya Inggris udah nggak lagi jadi salah satu pilihan negara AFS, entah karena alasan apa. So, aim saya jadi jelas deh: Jepang! 🙂

Kenapa Jepang?

Ada beberapa alasan. Alasan terdangkal (=p) adalah karena sejak kecil saya suka banget sepakbola, dan saat itu saya lagi asyik banget ngurus tim sepakbola kelas dan sekolah, juga ngabisin komik-komik sepakbola Jepang dan saya jadi penasaran banget gimana keberlangsungan sebenernya disana. (Hahaha, pada kenyataannya, akhirnya tujuan ini nggak bener-bener tercapai karena saya masuk sekolah khusus perempuan dan mereka nggak punya unit sepakbola). Alasan lain, ya tentu karena rasa penasaran yang nggak pernah tuntas, gimana negara mungil di sisi timur Asia itu bisa menjelma jadi raksasa ekonomi dunia dalam tempo yang nggak lama setelah porak-poranda karena bom Hiroshima dan Nagasaki. Saya juga pengen tahu gimana mereka bisa memadukan kekuatan kultur dan tradisionalisme ribuan tahun dengan kemajuan teknologi masa kini. Padanan apik yang mungkin nggak ada duanya di belahan lain bumi. 🙂 Saya yang masih banyak nggak benernya ini pengen belajar lebih berdisiplin, lebih total dan bersungguh-sungguh, lebih santun beretika, lebih baik hati. Semoga sedikit-sedikit benar-benar terealisasi ya, amiin.

Alhamdulillah, saya lulus lagi seleksi tahap 2. Saatnya mempersiapkan diri menyambut tahap 3. Dijelaskan panitia, tahap ketiga akan terdiri dari simulasi diskusi panel dan talent show. Kwek kwek kwek. Hahaha. Saya nggak punya bayangan diskusi panel akan jadi kayak gimana dan totally clueless tentang talenta yang bisa saya pertunjukkan. Bakat saya apa ya? Hahaha. Main alat music nggak bisa (kecuali recorder jaman SD :p), nari nggak mungkin (nggak mau dan mana bisa pula baru mulai latihan beberapa minggu sebelum hari seleksi? Belakangan waktu mempersiapkan performance seni untuk jadi delegasi ke Gunma University 2009 saya baru tahu kalau ini mungkin :p), sedangkan nyanyi? Hahaha, kalau untuk ngusir tikus sih saya berani unjuk gigi. :D  Saya mulai rusuh. Tinggal beberapa teman satu sekolah yang tersisa di tahap ini dan mereka kayaknya adem tentram aja menyambut seleksi tahap 3. Saya mulai cari-cari informasi. Mereka mau perform apa?

Jawaban yang saya terima bermacam-macam: Tari Merak, tari Jaipong, main gitar, main biola, berakting, pencak silat, dan lain-lain. Saya bengong aja. Wuah, keren-keren beneeer. Dan saya masih clueless, nggak ada kemajuan ide tentang talenta apapun yang bisa saya pertunjukkan. Kondisi ini bertahan sampai beberapa hari sebelum seleksi, dan pada akhirnya membuat saya berpikir-pikir, apa mungkin jalan saya cuma sampai sini, yaa. Soalnya mentok, bener-bener nggak ada bayangan. Kakek yang sejak awal seleksi terus menyemangati dan bilang yakin saya bisa setidaknya sampai tahap nasional masih terus menyemangati. Engki tahu Teteh bisa. Saya nyengir aja tapi dalam hati menggeleng-geleng, nggak, saya tahu kok saya nggak bisa.

Saya mulai pasrah tapi kemudian, dua hari sebelum seleksi, saya tiba-tiba berpikir ulang. Aah, kalau saya nggak mencoba saya nggak akan pernah tahu saya bisa atau nggak. Seperti lagu Fix You-nya Coldplay, “…but if you never try you’ll never know, just what you’re worth!” Lagian yang pengen pergi ke Jepang kan saya, yang pengen merasakan gimana rasanya menjalani kehidupan lain di luar negeri kan saya, jadi jelas kalau saya harus berusaha! Pantang menyerah sampai garis finish! Hehehe.

Mulailah saya berpikir keras. Apa bakat saya? Dulu sih orang bilang, nulis. Tapi bakat nulis gimana menunjukkannya? Belakangan baru saya tahu dari pengalaman Pak Ahmad Fuady di buku Ranah 3 Warna bagaimana melakukannya. Oke, ganti pertanyaan: saya suka ngapain? Baca, nulis, dan…bicara. Hahaha. Dari jaman SD dulu saya selalu suka ngeliat kakak-kakak mahasiswa orasi saat demonstrasi dekat gedung MPR, jadi…kenapa…saya nggak orasi aja untuk talent show besok? Hehehe, serius! Dan jadi! Saya menemukan sebuah artikel yang bener-bener inspiring dan sesuai dengan kondisi saya di sebuah majalah CosmoGirl! yang saya pinjem di sebuah perpustakaan di deket Jalan Citarum.Tentang kepercayaan diri. Gimana, kemanapun kita menoleh, kapanpun, pasti adaaaa aja orang yang keliatan lebih daripada kita. Lebih cemerlang, lebih brilian, lebih pintar, lebih berprestasi, lebih cantik, lebih keren, lebih supel. Lebih segalanya! Dan itu membuat kita selalu tergoda dan terlarut untuk ngerasa minder pada akhirnya. Ngerasa kurang, feel inadequate. Tanpa kita sadari sebenernya cahaya itu ada di dalam, menunggu untuk dinyalakan, etc etc. Hehehe, udah nggak inget persis gimana kontennya, tapi intinya gitu semangatnya. Woke! Siaplah saya.

Hari seleksi datang juga. Bertempat di Japanese Language and Culture Center (JLCC) Jalan Sabang, seleksi diawali dengan diskusi panel pagi harinya dan talent show siang harinya. Saya udah lupa nih topik diskusi panelnya, tapi tentang mekanismenya, begini: kami dibagi beberapa kelompok dan tiap individu dalam kelompok kemudian diberi peran masing-masing, sebagai panelis dengan latar belakang berbeda-beda—itulah kenapa dinamakan diskusi panel. Saya ingat kesan saya setelah diskusi: saya nggak banyak bicara, saya nggak mendominasi diskusi, dan saya berusaha untuk focus pada goal diskusi, instead. Tahun-tahun setelahnya, kalau saya renungkan ulang, kayaknya hal itu yang justru membuat saya lulus seleksi. ;)  Hal ini saya terapkan juga saat mengikuti focus group discussion pada tahap final Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Nasional 2010. Dan, Alhamdulillah berhasil juga. 🙂

Talent show siangnya! As predicted, penampilan teman-teman yang lain sangat mengesankan. Hehehe. Mau nggak mau, tiba juga saatnya saya maju. Melihat saya maju ke depan tanpa bawa apapun, minus alat music atau kostum tari atau pencak silat, dan nggak ada tanda-tanda ngatur nafas untuk tarik suara, kakak-kakak juri penasaran nanya, “Kamu mau ngapain, De?” Hehehe. Saya nyengir. “Saya…mau bicara, Kak!” Dan bicaralah saya! Orasi? Yah, dengan semangat berapi-api saat itu, meski tanpa speaker, bisalah disebut begitu. Hehe. Kakak-kakak juri itu speechless, bengong di awal, lalu lama-lama mulai larut dalam pembicaraan saya, ikut tertawa, dan bertepuk tangan di akhir. Hahaha. Bahkan kalau saya nggak halusinasi lihat, ada yang sampai berkaca-kaca.  Mungkin, mereka bengong karena nggak menyangka bakal menemukan anak kecil aneh senekad itu, larut karena penasaran apa yang bakal dibicarakan, tertawa dan berkaca-kaca karena terharu akan kenekadan perjuangan saya, dan bertepuk tangan untuk seenggaknya menghargai perjuangan saya. Hehehe. Gapapalah, sampai sana saya udah ngerasa puas banget, karena udah berusaha dan melakukan apa yang saya bisa lakukan, terus maju dan nggak mundur. Aduh puas batinnya nggak terkira. Seleksi tahap 3 yang juga seleksi akhir tingkat chapter berakhir, kami dikabari akan diberi kabar lewat surat untuk pengumuman kelulusan karena selanjutnya seleksi akan berlanjut ke tingkat nasional, seleksi dokumen dan lain-lain. Kami diberitahu untuk berdoa tapi jangan terlalu nunggu pengumuman, khawatir kecewa nantinya. Nothing to lose. Siplah, saya kembali asyik dengan kesibukan akademis, persiapan MOS dan suksesi organisasi di sekolah.

Ternyata, hidup itu…bener-bener nggak bisa disangka-sangka. Suatu siang saat sedang bermalas-malasan sambil nonton film The Parents Trap, telefon di rumah Kakek berdering. Ibu. Mengabari kalau Ibu baru aja dapat surat dari AFS-Yayasan Bina Antarbudaya Pusat di Jakarta. Saya lulus, sampai tingkat nasional. Dan tahapan selanjutnya tinggal memilih negara tujuan—ada 9 negara pilihan dan saya diminta membuat prioritas negara yang paling diinginkan hingga yang paling nggak diminati—lalu seleksi di negara-negara tersebut seiring dengan seleksi pembiayaan—beberapa sumber pendanaan akan memilih sendiri kandidat yang mau mereka biayai—dan pengurusan berbagai hal di negara tujuan: keluarga angkat, sekolah, dan lain-lain. Subhanallah. Saya, seperti kakak-kakak juri saat talent show beberapa bulan sebelumnya, speechless. Geleng-geleng kepala nggak percaya, itu kakak-kakak mikir apa sih sampai meluluskan saya? Hehehe. Alhamdulillah. Emang kalau rezeki nggak bakal kemana.

Alhamdulillah selanjutnya perjalanan lebih mudah. Saya dapat negara pilihan pertama saya, Jepang; cepat dapat sponsor—ASEAN, yang berbaik hati ngasih saya allowance pula tiap tiga bulan juga ngasih bonus trip ke Osaka dan Kyoto untuk tinggal bareng keluarga angkat dan nyoba sekolah disana, juga ngasih saya hadiah kamus Kanji; cepat dapat keluarga angkat—keluarga Kasahara yang ramai dan seru dengan Papa yang pintar, senang berbagi, dan jago memasak, Mama yang cantik, mandiri dan ahli merangkai bunga (guru Ikebana), dan tiga kakak perempuan yang baik. Saya juga segera mendapatkan host school, Niigata Seishin Girls High School. Sekolah swasta khusus perempuan! Wuah. Seumur-umur saya selalu sekolah di sekolah negeri dan sejak lama selalu ingin merasakan gimana rasanya sekolah di sekolah swasta, dengan teman perempuan semua. Pasti menyenangkan! 🙂

Dari Bandung ada empat orang yang akhirnya dikirim selain saya, Rima dari SMAN 5 Bandung untuk program sebulan ke Jepang, Vivin (teman sekelas saya di SMAN 3) dan Hayu dari SMAN 5 ke Amerika Serikat, dan Ratih (SMAN 3) ke Australia. Rima berangkat bulan Desember 2003, saya bulan Maret tahun 2004 (tanggal 17 Maret! Kalau ini saya ingat betul), sedangkan teman-teman lain berangkat bulan Agustus tahun yang sama. Saya berangkat di tengah tahun ajaran, meninggalkan kehidupan akademis yang seru di kelas 2-6 (dan Aki, Mpus, Kuskus, Ngadi anggota geng Bodoh lain—jangan Tanya kenapa namanya itu), dan kehidupan organisasi yang juga lagi asik-asiknya—saya mundur dari Belitung Muda beberapa bulan sebelumnya dan terpaksa pula meninggalkan masa kepengurusan MPK bareng Hilman dan Imam (ini yang paling bikin nggak enak!).

Ibu masih berpikir sangsi, apa iya anak ini bakal bisa bertahan sendirian di negeri asing selama setahun. Ayah khawatir karena merasa saya masih terlalu kecil, lima belas tahun dan ini pertama kalinya saya keluar negeri. Nenek geleng-geleng kepala nggak mengizinkan tapi tahu nggak bisa berbuat apa-apa. Sementara Kakek tersenyum bangga dan menepuk-nepuk saya. Aaaaah Kakeeeeek, itulah saat saya terakhir bertemu Kakek di dunia, karena November tahun yang sama, Kakek meninggal karena kanker paru-paru. Hikshikshikshiks. T______T

Ayah menangis memeluk saya di bandara. Membekali saya begitu banyak buku dan berpesan agar saya rajin baca Qur’an, itu yang akan menjaga saya baik-baik, pesan Ayah. Saya manggut-manggut, sudah nggak terlalu connect dengan kondisi sekitar karena benak saya udah dipenuhi antusiasme tentang apa yang bakal saya temui di negeri nun jauh itu. Hehe, maaf Ayah.

Dan berangkatlah saya akhirnya! Menekan tombol pause di kehidupan saya untuk merasakan kehidupan lainnya. 🙂

Gimana rasanya jadi anak SMAN 3 Bandung? Menyenangkan, hehehe.

Serius. Melebihi rasa senang karena impian sejak jaman SD terwujud, di antara sekian banyak hal-hal yang unpredictably great dalam hidup saya, menjalani masa-masa sebagai siswa SMAN 3 Bandung adalah salah satu yang terbaik. Salah satu yang paling mengubah hidup. Yang paling membentuk karakter dan perspektif, dan oleh karena itu, paling saya syukuri. :)

Masa-masa awal…

Saya masuk SMAN 3 Bandung sebagai NEM tertinggi perempuan di SMP saya dan itu memperkuat kepercayaan diri untuk memasukkan aplikasi tanpa banyak keraguan lagi—ini toh yang saya inginkan sejak SD, ini juga alasan saya mau pindah kembali ke Bandung dan ‘bela-belain’ pakai kerudung hehehe—tapi faktor itu nggak lantas membuat saya langsung aktual di sekolah ini. Begitu diterima, saya langsung tahu bahwa peringkat NEM saya ada di nomor 60 dari sekitar 400 siswa. Pada akhirnya, dari 40an siswa di kelas 3C (kelas unggulan di SMPN 3 Bandung), hanya 20 yang masuk SMAN 3 Bandung. Jangan tanya kelas lain. Sementara siswa baru yang berasal dari SMP di Jalan Sumatera? Jangan tanya juga gimana bejibunnya. Hahaha. Belum lagi yang berasal dari SMP negeri bagus daerah Buah Batu, Taman Pramuka, Ambon, sekolah swasta Kristen/Katolik, anak-anak luar kota yang jenius dan bahkan luar negeri. Wuiih. Semua orang tampak pintar bersinar, cerdas cemerlang, percaya diri dan aktual. Jiper? Nggak, saya makin excited. Hehehe.

Sejak awal saya udah memikirkan apa alasan yang mendorong saya mendaftarkan diri ke sekolah ini. Bukan semata-mata karena ini sekolah favorit dan bakal jadi prestise kalau bisa tembus, hmmm, sejujurnya itu nggak begitu kepikiran. Saya begitu ingin masuk sekolah ini karena saya mencari lingkungan kondusif yang kompetitif tapi tetap fair dan seru. Saya percaya lingkungan itu bakal berpengaruh banget untuk perkembangan diri seseorang. Dan saya pengen banget diri saya bisa terbawa baik, terdorong untuk jadi baik dan berkembang selama sekolah disini. Saya nggak terlalu peduli apakah saya bakal dapet peringkat atas atau nggak. Yang penting belajar dan berkembang.

Nah, ini, seperti yang saya ceritakan di posting sebelumnya, agak berbeda dengan apa yang sahabat saya ketika SMP pikirkan. Buat dia, yang penting tetap bisa unggul di lingkungan ‘rata-rata’, daripada jadi orang rata-rata di lingkungan unggul. Saya ngga setuju nih. Unggul itu kan relatif, dan saya mau standar saya tinggi supaya saya terus terpacu untuk jadi lebih baik dan nggak cepat puas. Kita kan nggak akan selamanya ada di SMA, masa SMA itu in fact Cuma sebentar dan pada akhirnya kita bakal lulus juga, masuk ke dunia kuliah dan lalu ke dunia nyata. Jadi hati saya nggak sepakat kalau menjadikan pencapaian masa SMA sebagai standar mutlak (apalagi itu relatif juga), yang penting adalah kualitas proses belajarnya (karena dari kultur akademis dan kesiswaan itu justru kita banyak belajar) dan output ketika keluar (mulai dari masuk kuliah dimana, gimana learning attitude ketika kuliah, dst). Ada sedikit contoh.

Di SMA 3, sejak awal saya dapat kesan seolah-olah semua anak diarahkan untuk memilih ITB atau Kedokteran. Kalau nggak memilih itu, pasti akan dipertanyakan dengan muka bersimpati, “Kenapa?”. Di satu sisi, ini mengandung sisi kurang bagus juga karena seolah iklim sekolah menggiring anak-anak untuk terhomogenisasi: lulusan yang sukses itu ya kalau nggak masuk ITB, ya kedokteran, sementara itu jelas nggak tepat. Bukan ITB atau kedokterannya yang penting, tapi apakah kita bisa masuk kuliah di tempat yang bener-bener sesuai dengan minat dan talenta kita dan bisa menempa diri kita sebaik-baiknya di tempat kuliah itu untuk berkarya di masa depan. Itu satu sisi. Tapi di sisi lain, ‘tradisi’ ini juga sangat empowering.

Menyadari standar minimum di SMA 3 adalah ITB atau kedokteran akan membuat kita terpacu. Ok, itu bisa jadi target! Mengetahui bahwa tiap tahun 80% lebih lulusan SMA 3 pasti tembus PTN favorit membuat kita bertekad, Saya juga mau jadi bagian dari statistik itu!!! Kira-kira demikian.

Seperti yang saya tulis juga di posting sebelumnya, sejak tercerahkan oleh artikel majalah Gadis ketika kelas 2 SMP, saya bener-bener memikirkan terus gimana caranya bisa mengaktualisasi diri. Sebagai anak pindahan, saya nggak punya banyak kesempatan untuk ikut aktif di organisasi kesiswaan, jadi saya hanya mengisi waktu saya dengan belajar, latihan karate, dan main ke rumah teman. Ada episode mengikuti beberapa lomba dan menang ketika kelas 3 SMP memang, tapi itu Cuma beberapa saat. Saya belum ngerasa puas karena saya belum merasa sudah benar-benar bisa berkontribusi untuk komunitas. Saya percaya, aktualisasi diri itu adalah berkontribusi.

Nah, SMA 3 itu juga sekolah yang mentereng dari segi dinamika ekstrakurikulernya. Ini saya kagumi sampai sekarang karena menurut saya, dinamikanya bahkan melebihi dinamika kemahasiswaan di kampus saya sekarang (sedih sebenernya). Semua orang Nampak total dengan kehidupan ekstrakurikulernya masing-masing, menghargai talentanya dan having fun. Saya akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Musyawarah Perwakilan Kelas (MPK) karena ingin mendalami seluk-beluk keorganisasian formal; DKM Al Furqan untuk belajar Islam (pastinya) karena saya ngerasa tertantang juga, udah hampir dua tahun pakai kerudung masa ngga ada peningkatan kualitas keislaman; dan belakangan kemudian bergabung dengan Belitung Muda (ekskul sepakbola)sebagai manajer dan talent scout. Ini bener-bener masa yang menyenangkan dan penuh pembelajaran.

Kelas 1, superb starting point!

Kelas 1 adalah kelas terbaik selama SMA. Saya masuk kelas 1-8, dengan ruangan terpencil di bangunan milik SMAN 5 Bandung, satu-satunya ruangan kelas SMAN 3 yang berlokasi disana. Tapi keuntungannya, selain dekat dengan masjid Masiina Shalihin (masjid bersama SMAN 3 dan 5), keterpencilan kami secara geografis dari kelas-kelas 1 lainnya justru membuat kami sekelas sangat dekat. Saya kenal dengan baik semua teman di kelas dan punya beberapa sahabat sangat dekat yang hingga kini masih berkomunikasi dengan intens.

Saya turut berkontribusi sebagai pengurus kelas, divisi kebersihan dan sukses bersikap strict selama setahun. Lumayan, kelas kami termasuk salah satu kelas terbersih saat itu. Hehehe. Sahabat saya Imam dan Chantika bergantian menjadi ketua kelas. Bersama dengan Bayu yang saat itu mengemban amanah sebagai ketua Rohis kelas, kami berempat adalah representasi 1-8 untuk MPK sekolah. Kami tim yang solid, baik di dalam kelas maupun luar kelas. Di dalam kelas, kepengurusan kelas mengadakan program untuk menjadikan tiap hari sebagai hari seseorang, dan seluruh kelas diminta menulis sesuatu untuknya, baik kesan, nasihat, kritik, atau pujian. Saya, Imam dan teman-teman lain juga bahu-membahu mengurus tim sepakbola kelas. Saat itu saya ditunjuk menjadi manajer sepakbola kelas. Lucunya, nggak hanya ­in-charge mengatur line dan rotasi pemain saat pertandingan (terutama futsal), kami juga sering pakai waktu istirahat untuk main game sepakbola—bergantian menyebut nama pemain sepakbola, dan yang mentok itu yang gugur. Dan beberapa kali saya menaang. Hohoho. Selain itu, kami juga menghidupkan Rohis. Kegiatan terakhir ini didukung juga oleh divisi Rohis dari DKM AF yang sangat suportif.

MPK merupakan starting point saya dalam kehidupan berorganisasi, sesuatu yang menjadi sangat lekat dalam kehidupan saya tahun-tahun berikutnya. MPK saat itu diposisikan seperti DPR dalam struktur pemerintahan Indonesia, meskipun senior selalu bilang, zaman dulu MPK itu posisinya seperti MPR dan harusnya memang demikian. Ya biarlah, sebagai anak kelas 1, saya belajar saja dulu. Pada awalnya saya masih banyak diam untuk beradaptasi, tapi syukur, itu tidak berlangsung terlalu sulit. Teman-teman baru yang saya temui sangat bersahabat dan terbuka, kakak-kakak kelas juga amat ramah dan menginspirasi. Satu hal yang amat berharga, saya merasa dipercaya disini. Dan perasaan dipercaya itulah yang kemudian saya rasa, banyak membantu proses unleashing berbagai potensi saya. Saya merasa ‘ditemukan’ dan dihargai disini. Saya cepat merasa kerasan, bisa menganggap MPK seperti rumah saya. Sense of belonging, itu istilahnya.

Sampai saat ini, kalau ditanya, “Kenapa memutuskan masuk MPK dan bukannya OSIS?”, jawaban saya nggak akan cukup bagus. Hehehe. Alasan saya simple dan sempit, “Karena MPK buka rekrutmen lebih dulu,” selain karena ada nama-nama kondang sejak zaman MOST yang juga saya lihat di MPK, seperti Kang Oki Earlivan, Kang Iwa Kartiwa, juga Teh Kartika Akbaria. ^^ Apapun alasan awalnya, ini adalah starting point yang tepat. Tahun-tahun berikutnya, kami membentuk tim yang sangat kuat dan bahkan disebut ‘lebih kuat dari OSIS’ saat itu. =p #abaikan

Kiprah di MPK saya mulai dengan menjadi kepala komisi V, yang bertugas mengawasi dan bekerjasama dengan seksi V OSIS, yang saat itu diketuai Kang Jaka Arya. Anak kelas 1 mengawasi kakak kelas 2? Hueee. Apalagi Kang Jaka itu panitia MOST yang eksis luar biasa, sementara saya newbee tidak berpengalaman. Sungguh sulit. Hehehe. Tapi kakak-kakak kelas yang saya temui kemudian ternyata bersikap sangat rendah hati dan mau membimbing. Saya berinteraksi dengan mereka tidak hanya dalam urusan organisasi, tapi juga di luar organisasi, misalnya bertanding main scrabble!! Hanya satu lawan yang belum pernah bisa saya kalahkan, yaitu Kang Oki ketua MPK itu—dan baguslah, sebab Kang Oki harus mempertahankan reputasinya sebagai alumni Inggris. Hehehe. Tahun yang menyenangkan. :)

Tahun ini pula, 2002, saya mulai mengikuti kegiatan mentoring. Saat itu mentor saya adalah kakak kelas saya, angkatan 2004, Teh Krisna Adiarini (Teh Nana) dan Teh Fetri. Mereka berdua adalah mentor yang baik, membumi dan menginspirasi. Teh Nana adalah salah satu teladan saya di sekolah, sudah seperti kakak saya sendiri, sementara Kang Oki adalah senior dan pembimbing di MPK, juga sudah seperti kakak sendiri, makaaa ketika beberapa tahun kemudian mereka menikah, itu benar-benar jadi kejutan yang menyenangkan untuk saya!! Hehehe. Alhamdulillah. Sayangnya, saya kelas 1 ini masih banyak belum ‘mudeng’. Meskipun mentoring adalah aktivitas yang seru, tapi saya belum menjadikannya sebagai sebuah prioritas. Mentoring ini statusnya wajib dan rutin diadakan setiap waktu Jum’atan, dan masalahnya, setiap Jum’at pula kegiatan belajar di sekolah selesai lebih cepat. Jadi, sering sekali teman-teman alumni SMP kemudian bersepakat untuk berkunjung ke SMP, dan saya…selalu ingin ikut. Ditambah dengan beberapa kali ada rapat MPK. Jadilah, beberapa kali saya absen mentoring… Fiuh.

Bulan April tahun 2003, semester kedua kelas 1, ada dua momen penting terjadi. Pertama, Latihan Kepemimpinan Siswa. Kakak-kakak kelas selalu bilang, hidup mereka nggak pernah sama lagi sejak ikut LKS, jadi sejak jauh-jauh hari saya sudah antusias mempersiapkan diri (mempersiapkan mental, maksudnya) untuk mendaftar. Apalagi kemudian ternyata ditunjuk menjadi komandan siswa (dansis) bersama Imam, makin semangatlah saya. Kerjaan saya saat itu bertambah, ngider-ngider tiap kelas tiap jam istirahat untuk menyebarkan informasi, dll. Nambah teman, nambah pengalaman. Senaaang. :D

LKS bukan kegiatan yang ringan. Ada kegiatan selama dua minggu (CMIIW) yang harus diikuti sepulang sekolah, terdiri atas kegiatan fisik (seperti berlari, membentuk formasi, dll) dan pemberian materi (yang sungguh-sungguh enlightening, untungnya), dengan kakak-kakak kelas yang tiba-tiba menjadi ekstra strict. Kami dituntut untuk bergerak sigap, berpikir cepat di bawah tekanan, terus bersemangat dengan beban fisik yang terus ditambah berat, sambil tetap saling memperhatikan satu sama lain dengan teman. Apalagi saya Dansis, saya harus bertanggung jawab atas seluruh teman-teman saya. Salah satu momen yang paling berkesan adalah saat kami ber-40 (again, CMIIW, it’s been more than 8 years ago!) harus minum dari satu botol yang sama. Hahaha. Saat itu rasanya segala indera sensitive saya, saya nonaktifkan dulu. =p Kami ditempa demikian keras sebenarnya untuk kebaikan kami sendiri juga, sebab, tidak berakhir di dua pekan itu, LKS kemudian juga dilanjutkan dengan fase penempaan di alam, yang tidak kalah challenging dan menyiksanya. Menyiksa mental, salah satunya. Oh bukan menyiksa, menempa! Hohoho.

Momen kedua yang juga penting yang terjadi di bulan ini adalah, pendaftaran AFS! Seleksi pertukaran pelajar selama beberapa bulan hingga setahun ke negeri asing. Awalnya saya sempat berniat mengurungkan niat saya mendaftar, karena kesibukan LKS dan pelajaran yang menggila, tapi kontemplasi singkat pada suatu sore hening—yang sebenernya adalah sesi evaluasi tapi pikiran saya malah ngelantur kesini—kemudian menguatkan lagi tekad saya untuk menjajal kesempatan ini. Tanpa ekspektasi! Lulus syukur—bener-bener syukur tentu—nggak lulus juga ya gapapa, nothing to lose. Hehehe. Saya kepikiran daftar juga karena waktu itu lagi asyik-asyiknya ngurus tim sepakbola kelas dan baca komik sepakbola Jepang Shoot!, Offside dan Kapten Tsubasa dan penasaran gimana sih sebenarnya klub sepakbola SMA di Jepang. =p Selain tentu, alasan-alasan idealis lain yang bikin saya penasaran dan pengen mencoba belajar disana. Nantilah saya ceritakan di posting tersendiri tentang AFS ini.

Begitu banyak hal terjadi selama setahun ini. Setahun yang betul-betul kaya; kaya pembelajaran, kaya kegembiraan. Selama setahun itu saya bener-bener berkembang jadi pribadi baru, yang setidaknya nggak secupu tahun sebelumnya. Contoh sederhana, awal SMA saya masih menggantungkan suasana emosional/mood saya hari itu pada gimana sikap orang terhadap saya atau apa kejadian yang terjadi hari itu. Kalau ada aja satu kejadian nggak menyenangkan, mood saya bakal rusak dan saya bakal bête seharian. Nggak peduli. Hal ini berubah sejak saya baca buku 7 Habits for Highly Effective Teens dan Don’t Sweat the Small Stuff for Teens dan kemudian ikut LKS. Ada chapter tentang bersikap proaktif di buku 7 Habits yang betul-betul berkesan, dan kemudian diperkuat dengan pembahasan mengenai ‘Jangan Muntahi Teman!’, ‘Berdamai dengan kesalahanmu!’ dan pembahasan-pembahasan lain di buku Don’t Sweat. Sejak itu saya belajar untuk lebih bertanggung jawab atas diri saya sendiri.

Segala hal yang terjadi selama setahun kelas satu ini membimbing saya untuk belajar juga tentang takdir, bahwa everything happens for a reason, hidup mungkin Nampak random, tapi sebetulnya ia terangkai dalam suatu desain Maha Agung, yang mungkin nggak bisa langsung kita pahami maknanya saat itu, tapi dengan positivity suatu saat akan kita temukan juga mengapa.

Awal kelas 1, saya sempat mengikuti seleksi masuk kelas akselerasi—ya itu, menyelesaikan SMA dalam waktu 2 tahun. Kenapa mendaftar? Kalau dipikir sekarang, nggak ada alasan kuat juga selain kecenderungan impulsif saya aja untuk mencoba setiap kesempatan yang ada. Nyatanya, saat dinyatakan nggak diterima karena nggak mendapat rekomendasi dari guru, saya bener-bener kecewa dan nggak bisa berhenti menangis di tangga menuju kelas 1-8. Sampai ada teman yang melihat dan mereka merubung saya untuk menghibur. Hehehe. Nggak berhenti disana, sampai beberapa saat kemudian saya masih terus larut dalam perasaan kecewa.

Baiknya Allah, Dia nggak membiarkan saya bertanya-tanya terlalu lama. Setahun kemudian, jelaslah semuanya. Kalau saya masuk kelas akselerasi, saya nggak akan bisa sedemikian aktifnya dalam organisasi kesiswaan sekolah dan berkembang seperti saat itu, saya nggak akan mengalami masa-masa menyenangkan jadi bagian kelas 1-8, dan saya nggak bisa ikut seleksi AFS! Pelajaran berharga… 🙂

Kelas I: Pemula Labil yang Keras Kepala

Yah, namanya juga anak SMP. Puncak kelabilan, puncak ke-nggakjelas-an. :)) Dan tiga tahun ini luar biasa penuhnya dengan kontradiksi.

Tahun pertama saya jalani di SMP Negeri 1 Serang. Berdasarkan placement test yang dilakukan di awal masa orientasi siswa, kami ditempatkan di kelas 1-A, kelas unggulan, katanya. Tapi sayang, status kelas unggulan itu tidak lantas membuat kami jadi punya hubungan dekat dengan guru-guru. Sedihnya, kami malah disebut kelas ngelunjak, sombong, nggak sopan. 😦 Padahal itu hanya karena salah paham beberapa pihak aja yang sayangnya jadi generalisasi.

Di SMP kelas 1 saya pertama kali kenal konsep geng. Saya cukup beruntung punya teman-teman yang baik dan status sosial yang relatif aman, damai dan tentram. Tapi saya lihat setiap hari gimana menderitanya teman-teman yang nggak ‘belong to’ grup tertentu dan karena berbagai ‘kekurangan’ atau hal di bawah standar, selalu menjadi objek pennderita atau korban penindasan. Bahan tertawaan, sumber ejekan. Menyedihkan banget. 😦 Saya selalu nggak suka melihatnya, tapi dengan kekuatan mayoritas seperti itu, saya cuma bisa mengalihkan pandangan akhirnya, setelah pembelaan yang nampaknya tidak berguna di awal. Sebenarnya sih kalau sekarang saya pikirkan lagi, meskipun saat itu nampak nggak berguna, dalam hati saya selalu tahu harusnya setahun itu saya jadi anak yang lebih berani membela teman, meski terhadap sahabat-sahabat sendiri. 😦

Terlepas dari ketidakadilan sosial yang mengusik nurani selama dua belas bulan penuh itu, kehidupan saya bener-bener standar, persis sinetron remaja TV. Sekolah, memandangi teman pakai make-up (serius, memandangi, karena meski teman-teman saya mulai gemas untuk membujuk saya menyisir rambut, pakai bedak dan menyemprotkan parfum setiap istirahat dan pulang sekolah, saya tetep nggak dapet jiwa untuk mengaplikasikannya sendiri :)), ikut ekskul PMR, dan seminggu dua kali les bahasa Inggris ke LIA Cilegon.

Seemingly, life was fine, tapi Ayah tahu something was still wrong. Saya juga tahu, tapi saya nggak mau tahu. Sejak awal saya dapat menstruasi, sekitar enam bulan sebelumnya, Ayah sudah mulai minta saya berkerudung. Saya menolak.

“Di kelas nggak ada yang pakai kerudung, kenapa aku harus beda sendiri??”

“Aku nggak mau beda sendiri.”

“Ibu juga pake kerudung waktu kuliah kok. Aku juga nanti aja.”

“Kerudung itu harus keputusan sendiri, Yah. Nggak boleh karena orang lain. Nggak boleh dipaksa.”

Kalau urusan cari alasan, saya memang paling pinter..

Ayah nggak putus asa. Ayah tahu sejak kecil saya anak yang pegang mimpi, dan akan melakukan hampir apa aja untuk mencapai mimpi itu. Dan Ayah tahu pasti saya ingin sekali bisa sekolah di SMA Negeri 3 Bandung. Jadi, menjelang penghujung tahun ajaran kelas 1 SMP, Ayah bilang, “Teteh pengen masuk SMAN 3 Bandung kan, ya?”

Saya mengangguk.

“Masuk SMA Bandung akan lebih mudah untuk anak-anak yang sekolah di SMP di Bandung.”

Saya penasaran.

“Mau pindah ke Bandung?”

“Mau!” Saya nggak berpikir.

“Boleh,” kata Ayah, “Tapi pergaulan di Bandung itu nggak seaman di Serang. Ayah hanya akan tenang ngasi Teteh sekolah di Bandung kalau Teteh pakai kerudung. Karena kerudung itu yang akan melindungi Teteh.”

Saya diam. “Jadi boleh pindah sekolah ke Bandung asalkan pakai kerudung?”

Ayah tersenyum melihat saya berpikir.

“Boleh,” saya setuju. Kesepakatan pun diambil.

Menjelang hari keberangkatan. “Ayo pakai kerudungnya, Teh,” Ayah mengingatkan.

Saya masih ngeyel. “Perjanjiannya kan nanti kalau sudah sampai di Bandung.” Ayah geleng-geleng kepala. Tapi itu nggak bertahan lama. Akhirnya hari yang ditunggu tiba juga. Melewati Tangerang, Jakarta, Bekasi, akhirnya mobil keluar juga melalui gerbang tol Pasirkoja. Ayah menoleh ke bangku belakang sambil tersenyum. “Nah, sudah di Bandung, ya.”

Saya memang masih labil, tapi saya tahu janji itu harus ditepati dengan konsekuen. Kerudung saya pakai juga dengan campur aduk perasaan. Saat itu saya memasuki fase baru kehidupan SMP.

 

Kelas II: Transisi dan Inspirasi

Hidup SMP saya memang memasuki babak baru setelah pindah ke Bandung. Beradaptasi lagi dengan kota, sekolah dan teman-teman baru sebenarnya bukan masalah yang terlalu besar karena sejak kecil saya dan keluarga memang sudah sering pindah-pindah tempat tinggal–selama SD saja, saya pindah sekolah sebanyak 3x di tiga provinsi berbeda. :))

Kali ini lebih terasa istimewa sebab, ini tahun pertama saya menjalani hidup sebagai remaja berkerudung–apapun motivasi asalnya. :)) Perlu waktu sekitar setahun untuk saya benar-benar menginternalisasi kerudung dalam kehidupan, jiwa dan karakter saya. Sebab, sejak sebelumnya saya sudah punya perspektif sendiri tentang bagaimana seorang berkerudung itu seharusnya berkarakter dan bersikap, dan perjuangan untuk menyamankan diri dengan kerudung itu bermakna juga proses perjuangan untuk bridging (menjembatani) antara karakter saya sebelumnya dengan karakter yang saya pikir saya harus menjadi setelah berkerudung. :))

Rumit ya, dan terus terang saya baru benar-benar dapat jawaban yang 100% menentramkan hati setelah membaca tulisan Salim A.Fillah tentang Islam dan Pelangi di buku Agar Bidadari Cemburu Padamu bertahun-tahun kemudian. Inti pesannya, Islam itu tidak lantas menjadikan setiap pemeluknya berwarna sama serupa dan monoton, tapi menjadikan potensi putihnya menjadi bersih suci untuk kemudian berkilau dengan warna masing-masing seperti pelangi. Buktinya, karakter para shahabiyah terkemuka pun kan bermacam-macam. 🙂

Masa SMP itu masa pencarian, itu benar. Selama duduk di bangku SMP saya selalu merasa hidup saya terlalu ordinary, tiap hari sama, rasanya minim makna. Sampai kapan saya akan jadi anak biasa-biasa saja? Saya sekolah pagi setiap hari, pulang sekolah latihan karate, dan kalau ngga ada jadwal, lalu main ke rumah teman. Obrolan dengan teman berkisar antara pelajaran sekolah, gosip-gosip terbaru, kecengan masing-masing, musik dan film. Dalam hati saya merasa nggak puas, tapi betul-betul clueless tentang apa yang harus diperbaiki. Secara kasat mata prestasi sekolah saya terjaga baik, hubungan dengan teman-teman juga akrab dan solid, tapi ya itu tadi, dalam hati belum merasa ada aktualisasi. Minim pencerahan, minim inspirasi.

Kalaupun ada pembelajaran bermakna yang terjadi selama setahun ini, jika saya pikirkan sekarang, itu adalah pembelajaran sosial tentang gap kondisi kota Bandung. Waktu itu saya merasa sangat nggak nyaman melihat bagaimana cantik dan apiknya daerah Bandung Utara seperti Dago dan Setiabudi sementara wilayah Selatan dibiarkan tandus dan kurang terpelihara. Hal ini lebih nyata di mata saya sebab saat itu saya akhirnya memutuskan bersekolah di SMP 3 Bandung (meskipun ikut seleksi dan diterima juga di SMP 2 Bandung). Dan berbeda dengan SMP 2 Bandung yang berlokasi di wilayah elit Bandung dan terdiri pula atas siswa-siswi golongan menengah ke atas di Bandung, SMP 3 Bandung memiliki konstituen siswa hampir seluruhnya dari wilayah Bandung Selatan, yang seperti saya siratkan di atas, banyak terdiri atas masyarakat dengan golongan ekonomi rata-rata menengah ke bawah.

Ah mirisnya, jika kondisi dalam kota Bandung (ibukota provinsi Jawa Barat) saja sebegini timpangnya, apalagi perbandingan kondisi antara Jakarta atau daerah perifer tanah air seperti Maluku atau Papua? Pemikiran dan keprihatinan ini bertahan sejak berseragam putih biru hingga kini, karena rasanya belum banyak kemajuan berarti meski bertahun-tahun sudah berlalu. Semoga suatu hari nanti saya bisa jadi bagian orang-orang yang memperbaiki kondisi ini. Amin.

Pencerahan yang dinanti-nanti akhirnya muncul di suatu malam, saya kira di bulan Desember atau Januari, dari majalah Gadis! Agak berbeda dari transisi usia normal, saya berhenti baca majalah Bobo kelas 3 SD, dan beralih pada tabloid Bola atau GO. Kelas 5 SD, saya mulai sesekali membeli majalah Kawanku dan Gadis, dan berlanjut hingga kelas 3 SMP. Dan ini bagaimananapun, termasuk hal baik pula, sebab saya mendapat pencerahan hidup dari salah satu edisi tahunan majalah Gadis! (sebagai catatan,saat itu majalah-majalah yang saya sebutkan di atas belum jadi majalah yang berisi mayoritas artikel fashion atau gosip, seingat saya unsur pengembangan dirinya masih lebih kental)

Di majalah itu pertama kali disebutkan kalau sebagai remaja kita harus bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas diri sendiri dan kemudian, bagaimana hidup itu harus dijaga seimbang seluruh dimensinya. Mulai dari dimensi intelektualitas, jiwa (spiritualitas), sosioemosional dan fisik. Lengkap pula dijabarkan bagaimana contoh kiat-kiat dan aktivitas bagaimana mengembangkan setiap dimensi tersebut. Wah!!

Malam itu rasanya kamar tidur saya terang benderang. Pikiran saya tiba-tiba terasa terbuka lebar. Lalu saya menangis, menyadari betapa selama ini hidup saya belum dioptimalkan, dibiarkan berjalan begitu saja, taken for granted, as it flows. Saya berdoa sungguh-sungguh pada Allah swt semoga saya masih diberi kesempatan hidup hari-hari esoknya, supaya saya masih dapat mencoba menerapkan pesan yang saya dapat di Majalah Gadis itu. Agar saya masih dapat mencoba berusaha mengoptimalkan hidup saya. 🙂

Sejak itu, saya rasa hidup saya nggak pernah sama lagi. 🙂

 

Kelas III: Kelas Unggulan

Ini adalah bagian terakhir kehidupan SMP, kehidupan transisi, juga bagian terbaik. 🙂 Di akhir masa kelas 2, diadakan placement test lagi di sekolah, dan alhamdulillah saya bisa masuk kelas unggulan. Ini momentum penting untuk saya, sebab saya sadari betul bahwa lingkungan kondusif amat berpengaruh bagi optimalnya pertumbuhan diri seseorang. Di kelas ini semuanya pintar dan rajin, punya talenta dan berani–sebuah batu loncatan berharga sebelum mempersiapkan diri masuk SMA 3 Bandung tahun depannya.

Sejak kecil meski punya prestasi akademis yang terjaga baik, sejujurnya saya nggak pernah mengkonsiderasi diri saya sebagai seorang yang pintar apalagi jenius. Adaptif dan mau berusaha sudah cukuplah. Jadi, perasaan saya biasa saja ketika semester berikutnya, saya yang biasanya selalu masuk tiga besar, tiba-tiba ‘hanya’ mendapat peringkat ke 8 di kelas unggulan ini. Ah, orientasi saya jelas, saya mau mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk masuk SMA 3 tahun depan. Yang penting saya terus belajar dan optimis, berani dan menikmati hari-hari terakhir sebagai siswa SMP, yang penting saya nggak kalah usaha dari teman-teman lainnya. Waktu itu ada satu quote yang selalu jadi penyemangat belajar dari guru bahasa Indonesia saya, bu Endah, “Jangan berhenti belajar. Jangan merasa malas. Jangan merasa cukup. Bisa jadi saat kamu berhenti, teman-temanmu sedang berpacu. Kompetitor-kompetitormu sedang berlari bersiap. Jadi kamu harus terus siaga dan maju!” Ah, terima kasih ya Bu Endah, quote ini telah berhasil menyelamatkan saya dari situasi semalas apapun. 🙂

Di Bulan April, beberapa siswa paling unggul di kelas dipanggil untuk persiapan kompetisi cerdas cermat antar siswa SMP di Jawa Barat. Saya, yang hanya peringkat 8, tidak punya ekspektasi apapun. Tidak dipanggil ya tidak apa-apa, target saya SMA 3 kok. :)) Tapi ternyata, dipanggil juga. Kok bisa? Beberapa teman juga bertanya-tanya. :)) Rupanya, karena para guru memandang kemampuan bahasa Inggris saya adalah (salah satu) yang terbaik di kelas, dan untuk memperkuat tim unggulan Adit (juara umum sekolah sejak kelas 1) dan Ibnu (yang jenius), saya diharapkan jadi komplemen yang bisa diandalkan dalam bahasa Inggris. Hehehe, jadilah saya ikut kelas persiapan intensif juga.

Ternyata, alhamdulillah!! Tim kami berhasil memenangkan kompetisi tersebut dan menyabet gelar juara pula di kompetisi-kompetisi berikutnya: Quiz Contest di UPI, juga cerdas cermat kebudayaan yang diselenggarakan STIE-EMINEN. Senang juga. 🙂

Apa bagian paling menyenangkan? 1. Bisa menyumbangkan piala dan menorehkan prestasi atas nama sekolah, 2. Bisa jadi motivation-booster bahwa saya juga bisa melakukan sesuatu yang besar, iya…ini yang saya pikirkan sejak setahun sebelumnya, aktualisasi diri…Gimana supaya diri saya ini punya makna, minimal buat lingkungan saya? Dan nggak hanya jadi bagian dari statistik bahwa pernah ada seorang pelajar putri yang bersekolah disini… 3. Bisa dapat sahabat-sahabat dekat, karena sejak setim saat itu, saya, Adit dan Ibnu jadi tim yang luar biasa, selain sebagai mutual fans Sherlock Holmes dan Agatha Christie. Hehehe. Ini yang priceless. Saya dan Adit kemudian terus menjadi teman sealmamater di SMA 3 Bandung dan FK Unpad, sedangkan Ibnu meskipun melanjutkan ke SMA Taruna Nusantara, Magelang dan UGM selama bertahun-tahun setelahnya tetap rutin berkirim surat.

Satu hal lagi, keberanian dan fokus pada target itu juga jadi hal-hal yang saya ingat pada tahun-tahun itu. Seperti yang saya tulis di tulisan sebelumnya tentang gap antara Bandung Utara dan Selatan, sebenarnya ada impact-nya juga bahkan bagi remaja SMPnya. Setelah masuk SMA 3 tahun depannya dan bertemu dengan anak-anak pintar se-Bandung, Jawa Barat dan bahkan Indonesia, saya bisa membandingkan. Anak-anak elit sekolah Bandung Utara lebih berani bermimpi besar dan bercita-cita tinggi. Saya ingat sebuah episode di laboratorium biologi saat di kelas unggulan, kelas 3 SMP.

Guru biologi menatap mata kami semua. “Acungkan tangan yang mau masuk SMA 3 Bandung!” Tadinya saya nggak punya keraguan bahwa akan banyak anak lain yang mengacungkan tangannya, sebab keinginan masuk SMA 3 ini keinginan jamak yang sering diperbincangkan. Jadi dengan cepat saya acungkan saja tangan saja. Dan betapa terkejutnya! Yang mengacungkan tangan hanya kurang dari 5 anak. Guru biologi juga nggak kalah terkejutnya, “Lho? Kenapa kalian ini? Kalian ini kelas unggulan, lho! Untuk apa masuk kelas unggulan kalau bercita-cita masuk SMA 3 aja nggak berani?!”

Haah. Mirisnya.

Waktu saya lulus SMP, percaturan nilai kelulusan masih ‘normal’, belum supranatural seperti sekarang dimana rata-rata nilai anak-anak bisa mencapai lebih dari sembilan koma, atau bahkan nilai sempurna. Oh ya bukan rahasia lagi sebenernya, kunci jawaban beredar sebelum ujian, dan makanya banyak anak yang prestasi akademis kesehariannya sebenernya memprihatinkan, tiba-tiba aja dapet nilai kelulusan yang melejit. Tapi apakah itu berpengaruh terhadap keberanian mereka? Nyatanya nggak. Itu nggak membuat mereka lebih yakin mendaftarkan diri masuk SMA 3 Bandung–saya sebut sekolah ini terus karena memang ini sekolah yang selalu jadi indikator sekolah terbaik di kota Bandung, dan Jawa Barat, dan salah satu yang terbaik di Indonesia. Jadi keberanian nggak lantas ada hubungannya secara langsung dengan nilai kelulusan yang tinggi, karena tanpa keyakinan penuh akan kemampuan diri yang murni, mana bisa orang percaya diri berkompetisi? Nah itu satu hal.

Tapi ada hal lain lagi tentang keberanian, dan ini saya lihat pada sahabat-sahabat terdekat saya sendiri, ketika kelulusan SMP dulu. Salah satu teman sekelas saya juga langganan juara umum. Sejalan dengan prestasinya yang memang murni dan kontinu, nilai kelulusannya juga baik. Nggak ada keraguan, insyaallah bisa tembus SMA 3 Bandung. Tapi bagaimanapun saya mencoba meyakinkan sahabat saya ini untuk bersama-sama masuk SMA 3 Bandung, dia tetap menggeleng. Kenapaa? “Di SMA 3 Bandung, belum tentu saya bisa berkompetisi. Lebih kecil kemungkinan saya bisa tetap jadi juara umum. Lebih baik saya tetap jadi juara di tempat yang lebih kecil, daripada jadi orang ‘standar’ di tempat besar.” Hmmmmmmm. Saya speechless. Apa iya begitu prinsipnya?

Saya nggak sepakat, dan saya merasa itu bukan prinsip yang benar, tapi saya nggak tahu jawaban yang tepat untuk menjawabnya dan yang terpenting, itu hidup sahabat saya dan dia punya kewenangan penuh untuk ambil keputusan apa saja. Jadi melangkahlah kami di jalan masing-masing.

Setahun berikutnya, di SMA 3 Bandung, saya baru menemukan jawabannya. Sejak itu saya tidak dapat berhenti bersyukur; atas kenekatan dan keberanian saya.  Saya mengambil keputusan yang tepat. Hehehe.

Bagian selanjutnya yang sangat berpengaruh dalam kehidupan saya ini juga merupakan momen krusial dalam dinamika kenegaraan kita. Reformasi 1998. Saat itu saya baru saja naik kelas 6, di sebuah SD negeri di kota Serang, Banten. Sejujurnya, saya nggak mengerti apapun saat itu. Saya tahu Indonesia punya Presiden yang sudah berkuasa sedemikian lama, dan saya tahu pula tiap 5 tahun Ayah dan Ibu ikut memilih pada Pemungutan Suara tanpa pernah ada perubahan berarti.

Saya tahu pertanyaan, “Siapa presiden yang terpilih, Bu? Yah?” adalah pertanyaan percuma, sebab bahkan sebelum Pemilu diadakan, kami semua sudah tahu jawabannya.

“Seolah-olah kita nggak punya lagi orang lain yang bagus, ya,” Ayah dan Ibu mengangkat bahu. Saya tahu ini aneh, tapi sampai saat itu saya nggak begitu merasa ada masalah. Toh kondisi aman damai saja.

Situasi berubah ketika tiba-tiba saja layar televisi setiap hari dipenuhi lautan massa. Di Jakarta, kata Ayah, Gedung MPR/DPR. Ada apa? Kenapa banyak orang memenuhi jalan? Kenapa sampai banyak yang naik ke atap-atap gedung? Pakai ikat kepala, mengibarkan bendera? Siapa kakak-kakak dengan jaket warna-warni itu?

“Demonstrasi,” kata Ayah, menjelaskan dengan sabar, pelan-pelan. Rupanya Indonesia sedang berubah, dengan cepat. Mereka semua itu mahasiswa, yang kuliah di universitas, dan memenuhi jalan untuk menuntut perubahan Pemerintahan. Sebab krisis keuangan yang parah sedang terjadi, Presiden Soeharto sudah terlalu lama berkuasa, dan sekarang baru ketahuan betapa kondisi negara kita sedemikian bobroknya. Ternyata keluarga Cendana penguasa itu maling-maling negara yang jahat. Korup. Korupsi, kolusi, nepotisme, tiba-tiba saja tiga istilah tadi menjadi sedemikian akrabnya di telinga. Ternyata selama ini partai Golkar berlaku curang, sehingga bisa menang terus.

Rakyat sudah muak, hampir muntah, dan karena selama ini tidak ada juga inisiatif dari pemimpin-pemimpin yang sering nampang di layar kaca, akhirnya kakak-kakak mahasiswa yang pemberani menguatkan hati untuk turun ke jalan. Tidak tahan lagi melihat penderitaan masyarakat. Meski nyawa taruhannya, seperti kak Elang Mulia Lesmana dari Universitas Trisakti dan kakak-kakak lainnya. Waktu itu saya masih pakai seragam putih merah dan yang bisa saya lakukan hanya memandangi televisi, sambil menghujani Ayah dengan pertanyaan-pertanyaan.

Ah tapi, pikiran saya tidak berhenti disana. Sebab saya kagum sekali melihat kakak-kakak gagah berani itu, kakak-kakak yang perasaannya peka terhadap penderitaan rakyat dan menyayangi mereka melebihi diri mereka sendiri. Saat itu juga saya berjanji dalam hati, kalau saya dewasa dan jadi mahasiswa nanti, pokoknya saya juga ingin jadi mahasiswa yang selalu menyayangi masyarakat dan melayani mereka. Tidak mendahulukan diri sendiri dan penuh keberanian.

Sekarang masa mahasiswa (S-1) sudah berlalu. Apa saya sudah berhasil memenuhi janji saya? Perjalanan sungguh masih panjang. Begitu banyak yang masih perlu dipelajari, masih perlu dibenahi. Semoga janji saya dalam hati sewaktu duduk di bangku kelas 6 SD bisa saya ingat terus sampai mati. Amiin

Ingatan pertama hidup saya dimulai sekitar 22 tahun lalu, nun jauh di pulau seberang. Pulau Lombok nan eksotis! Gunung Rinjani yang kukuh, Pantai Senggigi yang breath-taking, Plecing kangkung yang lezaaaat.

Saya merasa amat beruntung dapat menghabiskan tahun-tahun pertama masa kecil saya di pedalaman Desa Bayan, Provinsi Nusa Tenggara Barat bersama Ayah, Ibu dan adik laki-laki saya, Muhammad Tanri. Saat itu Ayah sedang bertugas sebagai dokter PTT di Puskesmas Bayan, membawa serta kami sekeluarga tinggal disana selama 3 tahun (1992-1995). Adik perempuan saya lahir disana, sehingga diberi nama Mufida Banni; Banni itu singkatan dari Bayan Rinjani. :)

Desa Bayan ini desa miskin. Hampir seluruh rumah penduduk belum terkena fasilitas listrik dan masih beralaskan tanah. Listrik dan televisi hanya ada di dua rumah, rumah dinas kami (beruntungnya) dan rumah kepala desa. Tidak heran, hampir setiap malam rumah kami penuh dengan penduduk yang ingin ikut melihat televisi. :)

Tahun 1992 saya mulai masuk TK. Namanya TK Dewi Anjani. TK ini sungguh-sungguh TK yang sederhana, seperti laiknya sekolah-sekolah di pedalaman. Hanya ada satu ruangan untuk belajar, dengan kursi-kursi kecil yang sudah lapuk dan pudar warnanya. Tidak ada ayunan atau perosotan, kami hanya punya piring-piringan logam yang sudah berkarat dimakan usia. Tapi sejujur-jujurnya, bukan kurang fasilitas itu yang membuat saya setahun kemudian merengek-rengek minta dimasukkan SD, menyelesaikan TK kecil tanpa niatan melalui dulu TK besar.

Saya cuma bosan. :)) Sebab pelajaran TK lama-lama terasa begitu lambat dan membosankan, dan saya perlu tantangan baru segera! Saya sudah bisa membaca sejak sebelum usia 4 dan saya tidak tahan lagi harus bersama-sama mengeja di kelas. Tapi meskipun itu sekolah dasar negeri di pedalaman, kepala sekolah tidak serta-merta mengizinkan. Matanya memicing. “Kamu masih kecil.”

Tentu saja saya tidak mau kalah, “Tapi saya bisa.”

Kepala sekolah memandangi tanpa ekspresi. “Baru lima tahun. Peraturannya masuk SD umur 7 tahun. TK dulu saja minimal satu tahun lagi, ya.”

Saya menggeleng. “Nggak mau. Saya bisa kok.”

Ayah dan Ibu tahu kalau saya sudah punya keinginan, nggak akan ada yang bisa meluluhkan niat saya, kecuali saya sendiri.

“Saya mau masuk SD.”

Kepala Sekolah menatap orangtua saya, lalu menghela napas. “Kalau begitu, masa percobaan saja dulu, ya, Dok. Satu caturwulan. Kalau bisa, lanjutkan. Kalau tidak bisa, terpaksa kembali ke TK.”

Tidak gentar. Saya yakin insyaallah saya bisa. Ini keinginan saya kok.

Semangat saya saya buktikan. Sejak usia lima tahun, saya berjuang buktikan pada Pak Kepala Sekolah dan orangtua saya, saya nggak akan labil dalam tekad. SD saya letaknya jauh, harus naik turun bukit untuk sampai kesana. Saya nggak mengeluh. Saya beranikan diri untuk berjalan kaki sendiri ke sekolah, melewati peternakan sapi dan kerbau, mendaki lalu turun lagi. Begitu terus setiap hari. Setiap pagi sejak subuh saya sudah siap-siap ke sekolah, siap berangkat sebelum akhirnya ditahan Ayah atau Ibu karena hari masih terlalu pagi. Hehe, semangat yang berlebihan kadang-kadang. Tapi hasilnya tidak mengecewakan.

Saya diizinkan melanjutkan SD caturwulan berikutnya, dan dengan bonus, selalu peringkat pertama di kelas. :)

Selama tinggal disana, Ayah ditugaskan sebagai kepala Puskesmas, dan saat malam hari membuka pula praktik mandiri di rumah. Puskesmas tepat berada di seberang rumah dinas kami, bersebelahan dengan kuburan yang kerap dialihfungsi menjadi lapangan sepakbola. *kacau memang :)) Jika sudah menyelesaikan pekerjaan rumah atau bukan saatnya bermain dengan teman-teman, saya suka sekali ikut Ayah praktik. Sekadar memperhatikan saja bagaimana Ayah menangani pasien. Hal ini rupanya sudah Ayah biasakan sejak saya berusia dua tahun.

Tak dapat disangkal, bagian favorit saya adalah saat pasien bertanya di akhir pemeriksaan dan pengobatan, “Berapa, dok?”

Ayah akan tersenyum, “Berapa saja, Pak,” karena mafhum akan kondisi kemiskinan setempat. Kalau tidak, untuk apa Ayah jauh-jauh meninggalkan Pulau Jawa untuk bekerja melayani disini?

Pasien akan menarik napas lega dan membayar semampunya (seringnya bahkan tidak membayar). Lalu mengucapkan terima kasih sambil membungkuk dalam. Ah, saya suka sekali scene ini. Tidak cukup sampai disana, di masa panen nanti, rumah kami akan mendadak dipenuhi hasil panen. Ayah tidak selalu dibayar dengan uang, tidak jarang pula dengan pisang atau pepaya. Saya kecil sungguh suka hal ini.

“Asik ya jadi dokter,” pikir saya, “Dapet banyak pisang dan pepaya.” Dan sejak saat itu, masa depan mulai terbentuk dalam pikiran saya.

Desa Bayan meski miskin dan tradisional, namun indah luar biasa. Penuh dengan perbukitan dan hewan ternak disana-sini, tinggal berjalan kaki sedikit ke barat, sudah mencapai pantai. Ini tempat kesukaan saya setiap hari. Setelah sekolah, saya akan berlari ke Pantai dan menghabiskan waktu disana hingga petang. Kadang sendiri, sering dengan teman-teman. Sekadar memandangi pantai, nelayan yang sibuk atau berlarian di pematang sawah tak jauh dari pantai dan berbasah-basahan di kucuran air di pojok sawah. Bahagia. Kulit saya makin hitam, badan saya kurus karena kebanyakan main dan berlari. Gigi saya ompong karena terjun bebas dari meja makan saat berusia dua tahun, tapi tidak pernah ragu tertawa lebar kapanpun. Karena saya bahagia. :)

Tiga tahun ini, menyisakan begitu banyak hal dalam kehidupan saya di kemudian hari. Saya cinta masyarakat tradisional karena hidup di tengah mereka dan menjadi bagian mereka sejak belum mengerti apa-apa. Saya bukan anak kota, saya anak kampung. Kata Ibu saat kecil, saya dan Tanri bisa berbicara bahasa Sasak dan saya selalu sangat gembira tiap ada festival di sekolah. Teman-teman akan pakai baju berbagai profesi, tapi saya selalu memilih untuk memakai baju adat Sasak.

Saya menemukan impian masa depan saya untuk jadi dokter pelayan masyarakat di desa ini, bukan di tengah kota Bandung. Maka betapa sesak hati saya saat membaca puluhan tahun kemudian, bahwa hingga saat ini Usia Harapan Hidup (UHH) di Nusa Tenggara Barat masih merupakan salah satu yang terendah di Indonesia. :(  Betapa sedihnya.

Yah, meskipun mungkin saya tidak akan kembali lagi kesana (setelah menikah banyak yang perlu disesuaikan :)), tapi mudah-mudahan semangat kecil yang berawal dari sana bisa saya bawa terus sampai tua. Saya mau jadi dokter yang baik, supaya bisa melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Amiin

Nama lengkap saya Almira Aliyannissa, menikah dengan Rizky Andhika Pattisahusiwa tanggal 1 September 2012 lalu. Saya lahir di Bandung 25 tahun lalu, kemudian tumbuh besar berpindah-pindah di beberapa kota: Bandung, pedalaman Desa Bayan NTB saat Ayah dinas di Puskesmas setempat, lalu Kota Serang. Tahun 2000 saya pindah kembali ke Bandung untuk bersekolah di SMPN 3 Bandung dan lalu melanjutkan di SMAN 3 Bandung.

Saya mengikuti program pertukaran pelajar ke Niigata, Jepang selama setahun sehingga baru menyelesaikan SMA pada tahun 2006. Melanjutkan ke Fakultas Kedokteran tahun 2006 hingga 2012, saya mengikuti kegiatan organisasi di Senat Mahasiswa Fakultas, BEM Unpad dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) serta beberapa ekstrakurikuler tambahan seperti DKM Asy Syifaa, Science and Research Center (SRC) dan majalah Medicinus. Spesifikasi saya adalah pada bidang kajian ilmiah, kepenulisan, coaching/mentoring, serta pengembangan potensi mahasiswa.

Tahun 2008 saya bersama beberapa mahasiswa lain dari berbagai fakultas terpilih untuk mendapatkan Beasiswa Unggulan dari DIKTI sehingga sempat mengunjungi Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia serta beberapa universitas seperti Universitas Islam Antarbangsa dan Universitas Putra Malaysia selama 2 minggu. Setahun kemudian, saya bersama 3 rekan mahasiswa lain dari Fakultas Kedokteran Unpad berangkat ke Gunma University Jepang untuk mengikuti pertukaran mahasiswa dan hospital visit selama 2 minggu. Saat itu saya menyempatkan berkunjung ke kota Niigata menengok keluarga angkat dan SMA saya 5 tahun sebelumnya.

Saya mengikuti Seleksi Mahasiswa Berprestasi Fakultas, Universitas dan kemudian, Nasional pada tahun 2010. Dengan karunia-Nya, saya menang sebagai runner-up. Dua  bulan kemudian, setelah menyelesaikan program Pendidikan Dokter, saya memulai kehidupan di RS Hasan Sadikin sebagai dokter muda. Saya mengambil cuti selama 3 bulan di awal tahun 2011 untuk mengikuti Short Courses mengenai International Public Health dan HIV/AIDS di Radboud Universiteit, Nijmegen, Belanda. Pada kesempatan itu, saya sempat berkeliling ke beberapa negara Eropa, sendirian. Di bulan Maret ke Prancis, Norwegia, Jerman dan Spanyol, kemudian satu minggu berkeliling Jerman di bulan Mei, mengikuti pertemuan mahasiswa muslim Indonesia di Turki akhir Mei, dan berkeliling Inggris dan Skotlandia di bulan Juni sebelum pulang kembali ke Indonesia.

Saya menyelesaikan pendidikan profesi dokter pertengahan tahun 2012, lulus ujian komprehensif dari fakultas di tahun yang sama, dan mengikuti ujian negara (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia) pada November 2012.

Saat ini saya tengah hamil 34 minggu, menjalani internship di RSUD Cicalengka (memasuki bulan ke-6), sambil mendampingi suami yang sedang menempuh pendidikan spesialis penyakit dalam di RSHS.

These 25 years have been so good, alhamdulillah.